Review Cobweb: Suguhkan Teror Bertubi-Tubi dan Senyuman Menakutkan
Kita kerap didorong untuk memendam emosi negatif. Jika berada di ruang publik bersama orang lain saat tengah bersedih, tersenyumlah agar tidak merusak suasana. Bahkan ketika bersedih dalam kesendirian pun, kita disarankan tersenyum supaya emosi negatif tidak menggerogoti hati. "Don't be sad cause everything's gonna be okay". Tapi benarkah toxic positivity semacam itu dapat menyembuhkan, atau justru menghasilkan luka berkepanjangan?
Hal di atas yang coba diangkat oleh Samuel Bodin dalam sebuah film berjudul Cobweb. Cobweb berkisah tentang sebuah keluarga misterius yang tinggal di sebuah rumah penuh dengan kesan mistis. Peter (Woody Norman), merupakan seorang anak lelaki berusia 8 tahun yang pendiam dan sering dirundung di sekolah.
Di rumah tua yang dia tinggali bersama ayah dan ibunya tersebut, Peter mulai mendengar suara misterius yang datang dari balik tembok rumahnya. Sang Ibu, Carol (Lizzy Caplan) dan sang ayah, Mark (Antony Starr) menganggap tingkah laku Peter hanya sekadar khayalan.
Setelah mencoba berinteraksi dengan sosok di balik tembok tersebut, Peter lantas menjadi sosok yang berperilaku aneh dan jahat, dan mulai melakukan misi-misi balas dendam kepada orang-orang yang pernah merundungnya, termasuk kepada orang tuanya atas arahan dari sosok di balik tembok tadi. Lantas, siapakah sosok misterius di balik tembok rumah Peter?
Melalui debut penyutradaraan film panjangnya ini, Samuel Bodin sangat terlihat berambisi ingin menghadirkan horor yang berbeda, sambil tetap melangkah di arus utama dengan tak mengasingkan penonton awam yang mencari teror seru. Bodin benar-benar ingin bercerita, walau dalam eksekusinya, upaya itu tak selalu berjalan mulus.
Cobweb punya lebih banyak layer serta isu untuk dibicarakan ketimbang mayoritas horor arus utama, meski layer-nya tak sedemikian mendalam, sementara caranya membicarakan isu tak seberapa pintar. Bagaimana sebuah trauma dan balas dendam bisa menyebar adalah gagasan tajam sekaligus relevan.
Bicara soal jumpscare, biasanya, film horor akan dikatakan gagal kalau ia hanya mengandalkan jumpscare belaka. Namun jumpscare dalam film ini mampu dieksekusi dengan elegan, mulai dari gerak-gerik kamera, scoring, hingga visual yang membekas. Kombinasi antara suara dan visual yang disturbing akhirnya sukses membuat penonton merasa gelisah mulai dari awal hingga akhir film.
Tapi lagi-lagi, meski film ini berhasil dalam segi menakut-nakuti penonton, ia justru kurang berhasil dalam membangun kedalaman cerita. Tema mengenai trauma yang seharusnya menjadi penggerak alur cerita terasa kurang dieksplorasi. Meski demikian, Cobweb tetap bisa dikatakan berhasil sebagai film horor dan sangat layak untuk disaksikan di bioskop.
Cobweb berhasil membuat penonton takut dan gelisah, tapi bukan melalui penampakan hantu dan jumpscare yang murahan. Rasa takut itu ditanamkan ke dalam benak penonton melalui teror bertubi-tubi dan senyuman menakutkan yang menghantui para penonton hingga akhir.