Review Hidayah: Brutal, Seru, dan Liar!
Beberapa tahun lalu, Pengabdi Setan seperti menampar penonton saat menampilkan sosok ustadz yang dikalahkan oleh iblis. Tatanan horor kita yang mengakar pada unsur religiusitas pun dirombaknya. Belum lama ini, film Qodrat arahan sineas Charles Gozali justru tampil sebaliknya.
Meski tetap menyimpan kerapuhan, sosok sang ustadz dalam film Qodrat hadir bak superhero yang sesekali menyampaikan pesan keagamaan. Bagi penulis, kedua film tersebut sama sekali tak bertentangan, tapi saling melengkapi. Bahwasanya, apapun perspektif yang dipakai bukanlah masalah. Film bagus tetaplah bagus.
Kini, film Hidayah karya Monty Tiwa sedikit banyak akan mengingatkan sobat nonton akan film Qodrat yang sempat disinggung di atas tadi. Hidayah berkisah tentang Bahri (Ajil Ditto), seorang ustadz muda, yang sedang berusaha mengubur masa lalunya dengan bekerja di kota.
Suatu ketika sahabat Bahri, Hasan (Alif Joerg), datang dari kampung untuk meminta tolong. Desa Mekarwangi tempat Bahri tumbuh dan berasal, mengalami gangguan gaib, yang dipercaya disebabkan oleh Ratna (Givina Lukita Dewi), teman lama Bahri. Ratna sakit keras dan menderita, namun tak kunjung menemui ajal.
Teriakan kesakitan Ratna menghantui kampung tiap malam, disertai kemunculan sosok gaib yang mengganggu warga. Bahri kembali ke Desa Mekarwangi dan mendapati bahwa bahaya yang harus ia hadapi lebih besar dari yang ia duga sebelumnya.
Sekilas, cerita film ini sangatlah sederhana. Proses mempertanyakan keimanan dan menangani duka, ditambah twist yang bakal mudah diterka oleh para veteran genrenya. Tapi yang unik adalah perihal struktur. Kita semua pastinya sering mengeluhkan bagaimana banyak horor lokal tampil bak kompilasi jump scares semata. Ketimbang menghindari itu, Hidayah justru malah menantangnya. Tujuannya adalah, bagaimana membuat horor berisi teror tanpa henti agar tidak terasa repetitif. Hebatnya, hal tersebut bisa dikatakan berhasil.
Kadang film ini memang melempar jump scares. Tapi Hidayah paling memukau tiap menjamah area thriller. Aksi rukiah sang ustadz tak ubahnya pertarungan superhero melawan supervillain. Dibantu tata kamera garapan Jimmy Fajar, Monty Tiwa menyuguhkan thriller bertempo tinggi yang tak luput menangkap detail horornya.
Premis eksorsisme memang trope yang sudah sering dipakai dalam ranah film horor, baik lokal maupun mancanegara. Hidayah sendiri bahkan memberikan beberapa adegan dengan sesuatu yang clearly mereferensikan ke sebuah film horor yang memulai sub-genre kesurupan dan pengusiran setan, The Exorcist.
Dengan menyajikannya seperti demikian, film ini tidak hanya memberi rasa respek ke film senior tersebut, tapi juga memberi tahu ke sobat nonton “oke, we’ve done the reference, itu selesai. Sekarang, inilah yang baru!”. Dan memang sesegera itu Hidayah berusaha bermain-main dengan cara menampilkan trope kesurupan, dan berusaha menjadi dirinya sendiri.
Dan kini kita beralih ke departemen akting. Selain aktor utama, jajaran pemeran pendukung dalam film ini pun tidak kalah kuat. Tapi izinkan penulis untuk memberi sorotan lebih kepada penampilan Givina Lukita Dewi. Di tangan yang salah, sosok Ratna bisa jadi karakter yang failed, tapi Givina justru membuat hal tersebut tidak terjadi. Ditambah kemampuannya dalam menangani momen dramatik, selama cermat memilih peran, namanya bisa menjulang di masa yang akan datang.
Yap, Hidayah memang tampil brutal, seru, dan liar. Namun jangan lupa, ia merupakan film horor bernuansa religi. Pemaknaan terkait religiusitas pun diperlukan. Maka hadirlah perspektif mengenai rukiah. Karena bagi Hidayah, selain ritual pengusiran setan, rukiah juga merupakan perlambang pergolakan personal dari seseorang yang berjuang untuk merelakan dan mengikhlaskan.
Hidayah juga seakan memberi cambukan bagi manusia yang sering meragukan Tuhan karena apa pun hasilnya, takdir Tuhan itu tetaplah menjadi hal yang terbaik. Seiring ia merelakan, Hidayah pun tetap menyerukan kebesaran Tuhan.