Review Shazam! Fury of the Gods: Lebih Baik Dibanding Film Pertamanya
Setelah Man of Steel (2013), Batman v Superman: Dawn of Justice (2016), dan Justice League (2017) garapan Zack Snyder yang tampil dengan nada pengisahan yang cenderung kelam, DC Films sepertinya berusaha untuk tampil dengan atmosfer cerita tentang pahlawan super yang lebih ringan dan menghibur pada film-film garapan mereka lainnya seperti Suicide Squad (2016), Wonder Woman (2017), dan Aquaman (2018).
Sebuah keputusan cerdas yang ternyata mendapatkan reaksi positif, baik dari para kritikus film maupun para penikmat film. Kesuksesan “arah baru” penceritaan DC Films yang lebih berwarna tersebut lalu diteruskan melalui Shazam! (2019) yang di banyak bagian linimasa pengisahannya bahkan layak disebut sebagai sebuah film komedi.
Meraih total 366 juta US Dollar di seluruh dunia, membuat para eksekutif di DC tak tinggal diam. David F. Sandberg kembali didaulat menjadi sutradara di film sekuelnya, yang sekarang diberi judul Shazam! Fury of the Gods. Jika pada film pertamanya Billy Batson (Asher Angel) menyadari kekuatannya sebagai Shazam (Zachary Levi), maka di sekuelnya kali ini ia tampaknya tidak yakin jika dirinya mampu menjadi seorang pahlawan yang baik. Billy juga kesulitan melakukan kontrol kekuatan terhadap saudara-saudaranya yang sesama superhero.
Di tengah kegalauannya tersebut, ia harus menghadapi ancaman dari 3 putri Dewa Atlas yang ingin menghancurkan bumi. Para putri Dewa Atlas ini terdiri dari Hespera (Hellen Mirren), Kalypso (Lucy Liu), serta si bungsu Anthea (Rachel Zegler). Mereka bertiga datang ke bumi untuk untuk membalaskan dendam atas kematian sang ayah. Alhasil, Shazam dan saudara-saudaranya pun harus melawan the Daughters of Atlas tersebut.
Jika film-film garapan DC Films yang memiliki atmosfer pengisahan “lebih berwarna” sebelumnya selalu mendapatkan perbandingan langsung dengan film-film garapan Marvel Studios, maka Shazam! Fury of the Gods ini ternyata mampu menghadirkan sebuah sentuhan penceritaan baru yang bahkan belum pernah dicapai oleh film-film dalam kesatuan Marvel Cinematic Universe. Daripada memberikan sentuhan komedi di banyak elemen dialog dan ceritanya, naskah cerita film ini justru menjadikan komedi sebagai bagian integral tak terpisahkan dari film ini.
Sebuah pilihan pintar yang kemudian mampu tereksekusi dengan baik ketika David F. Sandberg selaku sutradara juga berhasil memberikan pengembangan komikal yang sangat menyenangkan pada tiap konflik, dialog, maupun karakterisasi yang membangun linimasa pengisahan film ini.
Terlepas dari sentuhan komedinya yang kental, Shazam! Fury of the Gods tidak lantas melupakan posisinya sebagai sebuah kisah superhero bertema keluarga. David menggarap elemen tersebut secara baik dengan memanfaatkan formula familiar yang jelas akan menyenangkan banyak penikmat film bertema sejenis.
David juga memanfaatkan nada penceritaan aksi komedi yang telah diterapkannya sejak film pertama dalam aliran kisah yang bergerak dengan cepat. Pilihan tersebut memastikan setiap momen komedi yang kebanyakan berasal dari barisan dialog film dapat tersaji secara meyakinkan.
Kemasan adegan-adegan aksi di sepanjang pengisahan Shazam! Fury of the Gods juga tampil menjadi elemen pengisahan yang krusial. Ditampilkan dua kali lipat lebih banyak dan lebih solid ketimbang film pertamanya. Tidak menawarkan bentuk adegan-adegan aksi yang benar-benar baru maupun megah memang, namun setidaknya tetap mampu mendorong Shazam! Fury of the Gods untuk menjadi sebuah sajian yang apik.
Lagi-lagi, David F. Sandberg menambah deretan sutradara horor bertalenta, yang mampu melahirkan sajian film blockbuster memikat. Sebutlah Sam Raimi, Scott Derrickson, James Wan, lalu sekarang, David F. Sandberg mampu membuktikan poin tersebut. Sedikit sentuhan horor masih sangat terlihat, termasuk desain menawan monster-monster yang merupakan anak buah dari Kalypso contohnya. Kelebihan terbesar David F. Sandberg di sini adalah kapasitasnya dalam melahirkan ragam makhluk/imageries yang memukau. Ditambah kemunculan beberapa jumpscares yang cukup mengagetkan. Khas film horor.
Sensitivitas David F. Sandberg dalam merancang elemen-elemen di atas tadi mampu berjalan dengan mulus karena juga dipengaruhi oleh performa jajaran pemain yang patut kita beri tepuk tangan dengan meriah seperti Zachary Levi, Adam Brody, Grace Caroline Currey, Asher Angel, Meagan Good, Djimon Hounsou, serta Hellen Mirren dan Lucy Liu yang diserahi tugas untuk melakonkan sang antagonis.
Mereka terlihat sangat menikmati peran masing-masing, khususnya Levi yang kentara kembali bersenang-senang sebagai Shazam yang masih menunjukkan kepolosan cara berpikir bocah yang beranjak dewasa, dan jangan lupa pula Jack Dylan Grazer yang membentuk chemistry manis bersama Rachel Zegler.
Para jajaran pelakon di atas tadi mampu mengangkat tema film ini yang ternyata tidaklah seceria seperti terlihat di permukaannya dan tidak pula sesederhana “tontonan superhero lucu-lucuan”. Ini adalah sebuah kisah tentang orang-orang yang terbuang, manusia-manusia kesepian, dan mereka yang tak sanggup mengikhlaskan masa lalunya.
Terdengar suram? Memang begitu adanya, walau Shazam! Fury of the Gods sendiri enggan untuk mengeksploitasinya dan lebih memilih untuk menghantarkan pesan positif yang membuatnya terasa seperti film keluaran Disney atau sajian coming of age dari era 80-an.
Shazam! Fury of the Gods pada akhirnya memang lebih memilih kehangatan di tengah gelak tawa seru bagi sobat nonton demi kedekatan rasa bagi karakter-karakter superhero barunya. Durasi 130 menitnya pun benar-benar tak terasa, bagaikan lewat begitu saja dengan kesenangan luar biasa yang kita rasakan sepanjang menitnya. Satu yang jelas, DC sudah benar-benar bisa keluar dari zona nyaman mereka yang (biasanya) sungguh tak nyaman, dan semakin mengancam Marvel/MCU dengan konsep-konsep sederhana yang tak perlu kompleks namun sangat terjaga.
Dan terakhir, pesan khusus penulis kepada James Gunn yang kini menjabat sebagai salah satu CEO dari DC: Ketika kelak film Superman jadi untuk dibangkitkan lagi, bolehlah beri kepercayaan kepada David F. Sandberg sebagai sutradara. Karena kelihatannya, ia sangat siap untuk mengemban tugas berat tersebut.