Review The Flash: Klimaksnya Menggetarkan!!!
Siapa kuasa menolak pesona yang ditawarkan oleh film The Flash? Bayangkan, semenjak trailer perdanannya dirilis, DC kembali menggadang-gadang akan menyandingkan beberapa karakter ikoniknya di dalam satu film. Tidak peduli seberapa sering DC melakukan kesalahan kala menginterpretasikan ulang karya-karya mereka ke medium film, antisipasi khalayak ramai terhadap film ini akan tetap tinggi.
Cerita dari film The Flash sendiri bermula dari karakter utamanya yaitu Barry Allen (Ezra Miller), pria yang hidup dalam penyesalan atas tragedi keluarganya. Sang ayah dituding menjadi pembunuh sang ibu dan harus mendekam di penjara seorang diri. Padahal Barry percaya bahwa sang ayah tak mungkin melakukan hal tersebut.
Ia yang memiliki kekuatan super, yakni berlari secepat kilat, memutuskan untuk kembali ke masa lalu demi mencoba menyelamatkan takdir sang ibu. Tanpa ia sadari, perbuatannya tersebut malah membuat kehidupan di masa kini dan masa depan menjadi berantakan.
Barry malah membuka jalan bagi dunia pahlawan dan Jenderal Zod di semesta lain untuk kembali ke masa kini. Agar dapat mengatasinya, ia pun harus berjuang sekuat tenaga agar masa depan tak berubah dan mengembalikan semesta ke takdirnya semula.
Tak sendirian, Barry harus menggunakan bantuan dari Batman dan bangsa Krypton lainnya agar bisa mengalahkan musuh-musuh yang akan mengancam dunia. Lantas, apakah akhirnya Barry mampu mengatasi konflik sulit tersebut dan kembali ke kehidupan normalnya?
Kesabaran dan fokus adalah kunci terpenting untuk bisa menikmati The Flash. Jangan berharap setidaknya dua pertiga dari durasi film akan diisi oleh momen-momen genting penahan nafas sebagai bekal menuju pertarungan puncak, karena Andy Muschietti selaku sutradara lebih memilih untuk berjalan santai.
Sepanjang dua pertiga pertama, film memang mengalun begitu perlahan hampir tanpa ada sengatan berarti untuk membuat penonton ketagihan dalam mendambakan menit-menit berikutnya. Niatan Christina Hodson dan Joby Harold selaku peracik skrip sebetulnya baik, memberikan fondasi cerita berwujud motif atas munculnya beragam konflik yang terjadi.
Namun, jika penulis boleh jujur, niat baik di atas tadi justru berujung sebagai sebuah racauan yang mengakibatkan guliran plotnya berhamburan kemana-mana, dengan memasukkan subplot ini-itu, karakter pendukung ini-itu, yang mayoritas tidak mempunyai relevansi kuat pada film secara keseluruhan kecuali berdalih bahwa kesemuanya ini merupakan sebuah hidangan penutup universe yang maha agung ini.
Apabila sedari awal The Flash ditujukan sebagai film hura-hura belaka (seperti yang dilakukan oleh studio saingan DC), kekacauan naskah yang memiliki muatan berlebih dari yang seharusnya ini tentu bukan perkara krusial. Akan tetapi, The Flash sama sekali tidak ditujukan demikian. Adanya ambisi besar untuk sesegera mungkin menutup DC Extended Universe “orde lama” dan menggantinya dengan DC Extended Universe “orde baru” merupakan salah satu penyebab tidak mulusnya skrip dalam bercerita.
Tapi, satu hal yang menjadi penyelamat dari beragam kelemahan di atas tidak lain dan tidak bukan adalah munculnya cameo-cameo dahsyat yang tak perlu penulis sebutkan di sini. Yes, jika bukan karena kemunculan cameo-cameo tersebut, maka beragam karakter “numpang lewat” dalam film ini walhasil berakhir sia-sia. Walaupun tetap saja ada satu cameo yang terlihat mengganggu karena ditampilkan lewat balutan CGI yang terasa cukup cringe tampilannya.
Izinkan penulis menyebut satu nama, Michael Keaton! Dialah bintang dari segala bintang di film ini. Mungkin ini terdengar subyektif, tapi lewat The Flash, sebuah pernyataan yang menyebut bahwa Batman versi Keaton lah yang merupakan Batman terbaik sepanjang masa makin terasa sahih untuk didengar.
Tidak hanya para pelakon dan cameo-cameonya yang sanggup mengangkat derajat film ini, tetapi juga adegan klimaksnya. Seperti yang telah disinggung sebelumnya, menonton The Flash memang membutuhkan kesabaran. Jika sobat nonton merasa ingin menyerah lantaran film tidak kunjung memberi hentakan seperti yang diperkirakan, bertahanlah, karena sepertiga akhir film ini akan membayar lunas “kelelahan” yang didapat dari paruh-paruh sebelumnya.
Satu kata yang sanggup untuk mendeskripsikan seperti apa klimaks dari The Flash adalah menggetarkan. Penonton akan dibawa memasuki fase kesenangan total yang sedikit banyak memaafkan kesalahan-kesalahan tim produksi di permulaan hingga pertengahan film. Pemberian daya sentak selepas pertarungan yang menggiring penonton beralih ke fase mengharu biru pun sangat efektif sehingga setidaknya membangkitkan keinginan kita semua untuk mengetahui langkah apa yang selanjutnya ditempuh oleh DC ke depannya.