Review Black Phone 2: Suguhkan Twist Supranatural yang Mengejutkan
Scott Derrickson menjadi salah satu sutradara Hollywood yang ahli dalam menggarap genre horor. Setelah keluar dari proyek Doctor Strange in the Multiverse of Madness pada 2020 lalu, Derrickson pun terlibat dalam film horor berjudul The Black Phone yang merupakan adaptasi dari cerita pendek karya Joe Hill yang rilis pada 2004 silam.
Kini, sekuelnya yang berjudul Black Phone 2 pun siap dirilis. Black Phone 2 sendiri akan mengambil latar empat tahun setelah peristiwa mengerikan di film pertamanya. Finney Blake (Mason Thames), yang kini berusia 17 tahun, masih berjuang keras untuk mengatasi trauma akibat penculikan dan pembunuhan yang ia lakukan terhadap The Grabber (Ethan Hawke).
Sementara itu, adiknya, Gwen Blake (Madeleine McGraw), yang memiliki kemampuan psikis seperti mendiang ibunya, mulai menjadi pusat perhatian teror. Gwen menerima panggilan misterius dalam mimpinya melalui telepon hitam tua yang sama. Visi tersebut memperlihatkan dia tentang tiga anak laki-laki yang sedang diburu di sebuah perkemahan musim dingin terpencil bernama Alpine Lake.
Gwen lantas meyakinkan Finney untuk melakukan perjalanan berbahaya ke perkemahan tersebut di tengah badai. Di sana, mereka menemukan koneksi mengejutkan antara The Grabber dan masa lalu keluarga mereka. Mereka pun harus menghadapi The Grabber yang kini telah menjadi entitas jahat supranatural yang lebih kuat dan kembali untuk membalas dendam pada Finney dan Gwen.
The Grabber sebagai sosok penjahat utama dalam film ini akan cukup mengingatkan kita kembali pada karakter Pennywise dalam IT, ataupun karakter Freddy Krueger dari waralaba film horor A Nightmare on Elm Street. Meskipun ketiganya jelas berbeda, namun menurut penulis, kurang lebih vibes dan beberapa elemen dari ketiganya masih terasa sangat familiar.
Skenario anak-anak hilang di pemukiman yang suram serta skenario penculikan dan penyekapan juga sudah tidak baru lagi dalam skena film horor thriller. Namun, twist supranatural yang diaplikasikan pada film ini akan membawa kita pada perjalanan horor yang secara mengejutkan efektif dalam menghadirkan teror.
Dalam film ini, kita akan dibuat antara nyaman dan tidak nyaman karena ancaman nyata dan supranaturalnya bisa datang kapan saja. Adegan jumpscare yang disajikan juga berhasil membuat kaget, lebih dari sekadar permainan visual dan sound semata. Pun ada sentuhan sentimental ala film-film persahabatan anak-anak yang secara unik bisa kita lihat dari posisi karakter-karakter utamanya di sini.
Setiap karakter yang diperkenalkan di film ini juga tidak ada yang tampak sia-sia. Bahkan, para karakter orang dewasa dibuat terbuka dengan hal-hal di luar nalar, tidak ada pula satupun di antara mereka yang tampak dibuat bodoh. Acungan jempol kembali patut diberikan kepada Ethan Hawke yang lagi-lagi sangat menjiwai perannya sebagai pembunuh berantai sakit jiwa yang kini telah menjelma menjadi entitas arwah yang berniat menuntut balas. Setiap kemunculannya dengan topeng iblis mampu memberikan aura ngeri yang membuat bulu kuduk berdiri. Sederhananya, kehadiran karakternya tadi terasa sangat menyatu dengan topeng khasnya tersebut.
Dan pada akhirnya, seperti film pertamanya, Black Phone 2 kembali melengkapi statusnya selaku perlawanan atas perundungan, apa pun bentuknya, dan siapa pun pelakunya. Walaupun, terkait narasi, masih ada beberapa hal yang logikanya masih patut dipertanyakan. Namun, dengan penyajian yang pas, hal tersebut menjadi maklum dan dapat diterima tanpa adanya protes berlebihan. Overall, film ini berhasil memenuhi ekspektasi penulis, bahkan lebih.