Review Bayi Ajaib: Seram dan Sadis Seperti Versi Aslinya
Sobat nonton pernah menyaksikan film Bayi Ajaib (1982)? Itu boleh jadi merupakan salah satu film horor klasik terseram pada masanya, selain berbagai film horor yang diperankan oleh Ratu Horor Indonesia, Suzzanna. Film ini terbilang klasik karena memiliki latar di pedesaan dan resolusinya melibatkan tokoh dukun dan pemuka agama sekaligus.
Efek visual yang digunakan pun sebenarnya standar tahun 80an, yang jika ditonton di masa sekarang akan membuat kita semua menahan tawa alih-alih ketakutan. Namun, film ini memiliki ciri khasnya tersendiri ketika sosok yang menyeramkan pada film ternyata seorang anak kecil yang sadis.
Kini, rumah produksi Falcon Black coba membangkitkan kembali kengerian tersebut dalam wujud remake yang disutradarai oleh Rako Prijanto. Kisahnya pun tak beda jauh seperti pendahulunya. Kosim (Vino G Bastian), menjadi kaya mendadak setelah menemukan emas di sungai desa Hirupbagja. Dia lalu segera menikahi Sumi (Sara Fajira) dan hidup makmur sebagai juragan tanah.
Ketika anak mereka berdua lahir, Didi (Rayhan Cornelis Vandennoort), jiwanya rupanya sudah dirasuki arwah Albert Dominique (Willem Bevers), yang haus darah dan meneror warga desa. Kosim lalu berusaha menutupi kenyataan ini karena dia sedang mencalonkan diri sebagai Kepala Desa yang baru. Dia harus bisa mengalahkan Soleh (Teuku Rifnu Wikana) yang sudah mendapatkan simpati dari banyak warga desa.
Namun ketika arwah tersebut berbalik mengancam kehidupan keluarganya, Kosim memutuskan untuk membebaskan Didi dari jeratan pengaruh Albert Dominique. Untuk itu, Kosim harus berhadapan dengan Dorman (Adipati Dolken), dukun hitam, yang ingin membalaskan dendam kakek buyutnya pada orang-orang yang telah menghancurkan kehidupannya.
Menurut penulis, Bayi Ajaib versi baru ini memang terasa lebih superior. Namun, walau terlihat lebih kekinian, nuansa horor jadulnya tetap terasa dari efek suara, gaya berpakaian, dan pemilihan tonal vintage untuk elemen visualnya. Bayi Ajaib versi baru ini juga memiliki kerangka yang lebih rapi dan solid dari versi aslinya. Pembaruan jelas terlihat pada adegan-adegan krusial yang menguatkan fondasi ceritanya secara tepat. Selain itu, logika berceritanya pun kini jauh lebih baik.
Babak pertamanya memang terasa terburu-buru dan narasinya terkesan lompat-lompat. Namun, makin menuju ke pertengahan film, sang sutradara sanggup merangkai adegan per adegan secara rapi dengan bumbu-bumbu teror si bocah setan dan beberapa adegan yang akan sukses membuat ngilu sobat nonton. Yap, tingkat kesadisan yang terkandung dalam film ini boleh dibilang hampir mendekati genre slasher movie, di mana potongan tubuh hingga muncratan darah tak segan mewarnai layar silih berganti.
Hal lain yang menjadi nilai plus dari film ini ialah kualitas akting seorang Sara Fajira. Setelah melihat kengerian dalam serial Hitam (2021), penulis semakin senang melihat ia memberikan enjoyable performance di tipikal horor brutal seperti ini. Belum lagi artis Desy Ratnasari yang terjun kembali ke seni peran, walaupun dengan karakter yang cenderung bermain aman.
Berbicara aspek teknis, harus diakui Bayi Ajaib versi modern ini memang unggul. Visualnya memang khas Falcon, dan terlihat mahal secara produksi. Terkadang kualitas visual dari film-film produksi Falcon boleh dikatakan sedikit over the top, tapi tidak untuk kali ini. Banyak pengunaan warna yang pas dan tidak over-saturated.
Pada akhirnya, remake Bayi Ajaib ini merupakan debut horor yang baik dari Falcon Black dan juga Rako Prijanto. Masih ada lubang di sana-sini, tapi lubang tersebut pastilah tidak akan mengurangi apresiasi kita semua terhadap film ini. Dan film ini juga cukup memberikan nostalgia serta penghormatan bagi film pendahulunya. Menarik untuk ditunggu kejutan lainnya dari “anak perusahaan” Falcon Pictures tersebut.