Review Shutter: Film Horor yang Terlalu Lembut dan Kurang Mengerikan
							
Shutter adalah sebuah debut penyutradaraan dari sutradara Banjong Pisanthanakun yang kini telah dikenal sebagai salah satu sutradara terbaik Thailand. Film ini sendiri sempat di-remake oleh Hollywood pada tahun 2008 silam dengan hasil akhir yang sudah bisa diduga, yakni pendapatan lumayan namun dicerca habis-habisan oleh para kritikus.
Kini, giliran rumah produksi lokal bernama Falcon Pictures yang coba me-remake dengan bekerja sama langsung dengan GDH Thailand, studio yang juga memproduksi film aslinya. Remake ini tidak hanya kembali menghadirkan kengerian klasik, tetapi juga coba memberikan sentuhan budaya lokal yang lebih relevan.
Film Shutter versi Indonesia ini akan menceritakan tentang Darwin (Vino G Bastian), seorang fotografer senior yang masih setia menggunakan kamera manual. Hidupnya berubah ketika ia menemukan penampakan bayangan perempuan misterius di setiap hasil fotonya. Semula, hal tersebut dianggap kesalahan teknis, namun ketakutannya berubah nyata ketika sosok perempuan itu mulai menampakkan diri dan menghantui kehidupannya.
Kekasih Darwin, Pia (Anya Geraldine), bertekad mencari tahu identitas sosok tersebut. Penyelidikan Pia tersebut lantas membawanya pada fakta mencengangkan tentang seorang perempuan bernama Lilies (Niken Anjani), yang merupakan mahasiswi berprestasi yang pernah kuliah di kampus yang sama dengan Darwin. Namun, situasi berubah mencekam ketika satu per satu teman lama Darwin meninggal dengan cara yang misterius.
Pia pun mulai curiga bahwa semua teror ini berkaitan dengan masa lalu Darwin. Ada rahasia besar yang pernah ia tutupi, sebuah “dosa” yang kini menuntut balas. Lalu, benarkah itu semua berhubungan dengan dosa di masa lalu Darwin seperti yang diyakini Pia?
Sejujurnya, formula horor yang disajikan oleh Herwin Novianto selaku sutradara ini tidaklah jauh berbeda dengan kebanyakan film-film horor yang menjadikan hantu sebagai penebar teror utamanya. Bedanya, dalam film ini, kamera punya peranan penting tidak hanya dalam ceritanya, tapi juga sebagai salah satu cara dalam memberikan efek horor.
Mungkin sobat nonton masih banyak yang mengingat beberapa tahun lalu saat fenomena foto penampakan hantu termasuk yang dipajang di situs-situs internet menjadi primadona bagi para pengguna internet. Nah, dalam film ini akan muncul banyak foto serupa, bahkan di antaranya adalah foto nyata yang memang sudah menjadi fenomena di dunia maya.
Harus diakui bahwa hal tadi terasa menarik, walaupun masih saja kurang dalam hal menebar kengerian di zaman sekarang. Untuk puluhan tahun lalu saat Shutter versi originalnya dirilis, mungkin metode ini terasa mengerikan karena saat itu fenomena foto hantu memang sedang menjadi tren. Namun saat menonton Shutter di tahun 2025 saat teknologi photoshop sudah semakin maju dan merakyat, maka apa yang yang disajikan di layar tidaklah terasa mengerikan dan bukan lagi sebuah pop culture yang menarik dan relevan saat ini.
Shutter versi lokal ini semakin terasa kurang menggigit karena teknik menakut-nakuti yang dipakai oleh Herwin Novianto juga sudah terasa usang untuk ukuran saat ini. Menggunakan teknik jumpscare "sopan" yang momen kemunculannya sudah terprediksi membuat Shutter tidaklah terasa terlalu mengerikan. Pada masa di mana banyak penonton sudah diperkenalkan dengan teknik jumpscare ala James Wan yang lebih "brutal" dan gila, maka apa yang disajikan di film ini masih terasa terlalu lembut dan kurang mengerikan.
Atmosfer yang dibangun oleh film ini sebernarnya sudah cukup baik, opening-nya yang didominasi oleh grading color mencolok dan musik mencekam juga terasa menjanjikan. Sayangnya, teknik Herwin dalam menakut-nakuti pada akhirnya masih terasa kurang menggigit. Pun sebenarnya film ini juga punya potensi dari segi misteri yang terkandung dalam ceritanya. Tapi sayangnya, lagi-lagi Herwin nampak tidak menjadikan misteri itu sebagai fokus, khususnya di awal hingga menjelang akhir.
Secara keseluruhan, Shutter bukanlah film horor yang buruk. Hanya saja, baik dari teknik menyajikan terornya sampai konten pop culture yang diselipkan sudah tidak lagi relevan dan menarik untuk ditonton saat ini. Beberapa potensinya juga kurang berhasil dimaksimalkan, termasuk atmosfer serta lokasinya yang sebenarnya sudah cukup mendukung. Sebuah film bisa dikatakan bagus oleh karena film tersebut tidak lekang oleh waktu, namun sayangnya potensi Shutter ini banyak terkikis oleh pengaruh waktu dan perkembangan zaman.

 
						 
						 
						 
						






