Review Timur: Jadi Angin Segar untuk Film Lokal dengan Latar Militer

Pekan ini, sebuah film Indonesia berjudul Timur siap dirilis ke khalayak luas. Disutradarai sekaligus dibintangi oleh aktor laga internasional Iko Uwais, Timur akan mengangkat kisah pembebasan sandera oleh Komando Pasukan Khusus (Kopassus) TNI dalam operasi militer paling bersejarah dan mendunia yang pernah dilakukan Indonesia, yakni Operasi Mapenduma.
Film Timur sendiri berkisah tentang Timur (Iko Uwais), seorang prajurit pasukan khusus yang dikenal tegas, disiplin, dan berpengalaman dalam misi berisiko tinggi. Ia mendapat tugas memimpin operasi penyelamatan sekelompok peneliti yang diculik oleh kelompok bersenjata di wilayah pedalaman hutan Papua. Lokasi misi ini berada di medan ekstrem, terpencil, sulit diakses, dan penuh ancaman. Namun, tantangan terbesar Timur bukan berasal dari medan atau musuh, melainkan dari masa lalunya sendiri.
Saat tiba di lokasi operasi, Timur menyadari bahwa wilayah tersebut adalah tanah kelahirannya. Kenangan masa kecil yang lama dikubur kembali muncul, terutama terkait sahabat masa kecilnya yang tumbuh seperti saudara bahkan disusui oleh ibu yang sama. Perjalanan penyelamatan berubah menjadi perjumpaan tak terduga. Sahabat yang dulu ia cintai kini berada di pihak lawan. Konflik tidak lagi hanya soal misi atau nyawa sandera, tetapi soal pilihan antara tugas sebagai prajurit dan ikatan emosional yang tak pernah benar benar putus.
Film yang menjadi debut pengarahan film layar lebar bagi Iko Uwais ini sebenarnya dimulai dengan cukup baik. Sayangnya, ketika jalan cerita mulai memalingkan fokusnya pada sisi drama, Timur mulai menemui beberapa hambatan yang membuatnya gagal untuk bercerita selancar cara penceritaan di paruh pertamanya.
Ya, masalah utama yang dihadapi oleh sisi drama dari film ini adalah Iko Uwais masih gagal menyajikannya menjadi bagian yang terasa cukup esensial untuk disajikan dalam rangkaian kisah Timur. Oke, sisi drama memang boleh saja menjadi sajian penyeimbang bagi sebuah film aksi. Namun, sisi drama dalam jalan cerita film ini terasa begitu dangkal dan hadir begitu datar, sehingga bukannya menjadi bagian yang mampu tampil menyentuh, melainkan justru menjadi distraksi tersendiri bagi perjalanan kisah film ini.
Terlepas dari beberapa kelemahan tersebut, Timur masih mampu menunjukkan bahwa Iko Iwais adalah seorang pengarah aksi yang cukup handal. Unsur aksi yang mengisi paruh ketiga penceritaan Timur bisa dibilang berhasil disajikan dengan baik. Dengan penataan intensitas di medan perang yang terbangun dengan baik, serta paduan tatanan gambar karya sinematografer Dimas Imam Subhono, arahan musik Aghi Narottama serta desain produksi yang benar-benar berkelas, Iko berhasil menggarap rentetan adegan konflik perang terbaik yang disajikan dalam sebuah film Indonesia dalam beberapa tahun terakhir.
Pertanyannya, mampukah itu semua membuat film ini jadi sebuah sajian yang istimewa? Jawabannya tentu sangat relatif. Satu hal yang pasti, film ini dengan sangat baik menjalankan fungsinya sebagai film aksi. Segala elemen di film ini berhasil ditampilkan sesuai konteksnya. Akan tetapi, sisi drama yang sebenarnya bisa menjadi unsur penting, malah kalah karismatik dari paparan unsur militernya.
Dan secara keseluruhan, patut diakui bahwa Timur merupakan sebuah film yang dibuat dengan kualitas produksi yang baik. Niat dan tujuannya yang tidak terlalu ambisius boleh dibilang sukses diterjemahkan menjadi tontonan yang cukup menghibur, informatif, mudah diikuti, dan tidak membuang-buang waktu. Film ini pun sebenarnya layak jadi sebuah penyegar, setelah sekian lama penonton Indonesia hanya bisa menikmati film yang kental dengan latar militer dari luar negeri.








