Review Halloween Ends: Sangat Brutal dan Mencekam!
Seperti inilah hasilnya saat sekuel dibuat oleh sineas handal sekaligus penggemar sejati. Tidak mengindahkan installment selain film orisinalnya jelas sebuah keputusan berani. Dan pada akhirnya, terbukti keberanian itu merupakan langkah penghormatan terbaik bagi karakter-karakternya, menjadikannya seri film terbaik Halloween sejak karya John Carpenter 40 tahun lalu.
Apa yang David Gordon Green ingin capai melalui naskah yang turut ditulisnya bukan cuma memberi Michael Myers panggung pembantaian, tapi juga kelanjutan natural yang layak bagi kisah Laurie Strode (Jamie Lee Curtis), sembari mengubah modus operandi franchise ini, dari alasan membunuh atau kehilangan nyawa, menjadi alasan untuk bertahan hidup.
Melanjutkan kisah dalam film Halloween Kills, yakni empat tahun setelah Laurie Strode (Jamie Lee Curtis) bertemu dengan pembunuh bertopeng, Michael Myers (James Jade Courtney), kini Laurie tinggal bersama cucunya yang bernama Allyson (Andi Matichak), dan sedang sibuk menyelesaikan memoarnya.
Hingga suatu hari, ada seorang bocah yang ditemukan tewas secara misterius. Kemudian, Corey Cunningham (Rohan Campbell) pemuda pengasuhnya, dituduh sebagai pembunuh. Kejadian itu memicu serangkaian kekerasan dan teror brutal yang memaksa Laurie untuk menghadapinya.
Pasca tahun-tahun penuh sekuel buruk yang terus membawa franchise ini bertransformasi dari slasher medioker, slasher dengan unsur supranatural sampai slasher remaja, Green sebagai sutradara membawa seri Halloween kembali ke akarnya. Diterapkannya gaya serupa John Carpenter (si empunya seri Halloween), di mana teror berasal dari atmosfer yang mencengkeram perlahan, menahan pembantaian hingga nyaris separuh jalan. Walau harus diakui, terkadang Green kehilangan pegangan sehingga beberapa sekuen berakhir draggy.
Tapi Green sadar betul, bahwa sepenuhnya meniadakan sadisme dapat membuat penonton masa kini kebosanan. Alhasil, begitu Michael mengenakan topengnya lagi, tubuh tanpa nyawa langsung bertumpuk. Dibandingkan karya Carpenter, jumlah kematian serta kebrutalan digandakan, tetapi mayoritas terjadi di balik layar supaya atmosfer yang hendak dibangun urung terdistraksi oleh gore.
Hebatnya, Green bisa menciptakan banyak creative kills tanpa memperlihatkan peristiwanya. Caranya adalah menunjukkan mayat-mayat yang Michael tinggalkan, sehingga nuansa sadisme tetap terasa. Bahkan kali ini Michael tidak segan menghabisi seorang bocah.
Terlepas dari naskah cerita yang seringkali menghalangi Green untuk menghadirkan lebih banyak momen yang mengikat dan menegangkan, Halloween Ends tetap mampu bertutur dengan lancar dalam bercerita, baik untuk memberikan kilas balik tentang berbagai konflik dari masa lampau, memperkenalkan karakter-karakter baru, hingga deretan perseteruan yang ingin disampaikan oleh film ini.
Paruh ketiga penceritaan film ini menjadi puncak kekuatan cerita Halloween Ends sebagai sebuah presentasi horor yang sempurna ketika Green berhasil mengolahnya dengan seksama. Tidak lupa, penggunaan tata musik dari film orisinal Halloween karya Carpenter, yang diselipkan di banyak bagian film ini, turut pula menambah kuat elemen ketegangan film.
Departemen akting film ini juga hadir solid. Semuanya tampil meyakinkan dalam menghidupkan karakter-karakter yang mereka perankan. Tapi tetap saja, tak satupun penampilan tersebut mampu menyaingi kharisma dan kekuatan penampilan Curtis yang kembali menjelma sebagai karakter Laurie Strode.
Sosok Laurie Strode yang digambarkan sebagai sosok ibu/nenek yang paranoid akan kehadiran sosok kelam dari masa lalunya kembali mampu disajikan Curtis secara meyakinkan. Ketangguhan Laurie Strode dalam menghadapi karakter Michael Myers secara fisik juga dengan mudah kembali dibawakan oleh Curtis.
Sangat mencekam dengan atmosfer khas film tahun 1978-nya, memiliki beberapa homage nostalgik, serta tampilan sosok kunci nan legendaris, film Halloween Ends jelas menjadi tribute dan sebuah finale yang akan mendapat tempat di hati terdalam dari para fans seri Halloween.