Review Keramat 2: Caruban Larang: Penuh Teror Menakutkan
Indonesia punya segala macam kisah mengenai hantu-hantuan yang sangat dekat dan merakyat. Dan apabila digarap dengan benar dan setia dengan kisah yang ada, maka sebuah sajian film horror yang seram bukanlah hal sulit dalam ranah horror lokal.
Tapi sayangnya, atas nama komersialitas hal tersebut mulai dikesampingkan. Bumbu porno dan seksual yang tidak penting pernah menjadi tren di film horror kita. Bahkan penggambaran hantu seperti pocong tidaklah terlihat seram di filmnya.
Tapi sekali lagi perlu ditekankan apabila seorang sutradara horror lokal menampilkan segala kisah yang tidak dilebih-lebihkan dan bertutur apa adanya atau paling tidak mendekati hal tersebut, maka horror yang seram adalah sebuah jaminan. Dan seorang Monty Tiwa telah melakukan itu 13 tahun lalu melalui film Keramat.
Kini, Monty Tiwa yang pernah berjanji tidak akan pernah mau membuat sekuel dari filmnya tersebut, seakan mencoba peruntungannya kembali di film lanjutannya yang berjudul Keramat 2: Caruban Larang. Di sekuelnya, film ini dibintangi oleh sederet artis Indonesia, yaitu Umay Shahab, Lutesha, Ajil Ditto, Arla Ailani, Josephine Firmstone, Maura Gabrielle, dan Keanu Angelo.
Masih memiliki jalan cerita yang cukup serupa, Keramat 2: Caruban Larang mengisahkan tentang sekumpulan anak muda dari kota Jakarta yang berangkat menuju Cirebon. Perjalanan ketujuh anak muda ini bertujuan untuk membuat tugas akhir film dokumenter. Namun, di tengah-tengah perjalanan, situasi berubah menjadi mencekam dan mistis.
Pemilihan teknik mockumentary kembali membuat film ini semakin terasa "keasliannya". Tapi, teknik tersebut belum tentu menjamin sebuah film horror mampu tampil natural sehingga bisa membuat penonton dekat dengan kengerian yang ada. Contohnya adalah teknik serupa yang dipraktekkan di film lokal Terekam dari Nayato Fio Nuala yang penuh kekacauan di sana-sini, sekaligus premis yang sangat tidak masuk akal.
Sedangkan Keramat 2 menggunakan pemain yang belum begitu dikenal publik. Premis yang ada juga lebih masuk akal, di mana setting film menggunakan latar Cirebon yang memang masih kental unsur mistisnya. Monty Tiwa berhasil menghadirkan jenis-jenis teror yang memang dekat dengan kehidupan mistis Indonesia khususnya Jawa dan Sunda.
Semua hal mistis yang ditampilkan dalam film ini merupakan hal-hal yang paling tidak pernah kita dengar dan sudah bisa dibilang sebagai kultur di negeri ini. Begitu juga kemunculan pocong yang sesuai dengan porsinya, sama seperti di film pertamanya.
So, daripada hanya sekadar mengandalkan tampilan muka rusak dan efek close-up yang malah membuat konyol, pemunculan demit di sini lebih diperlihatkan dengan cara membangun aura horror dari si makhluk itu sendiri. Sebuah eksekusi yang sangat efektif dan fresh di genrenya.
Teror yang sudah melekat dengan baik tadi lalu dipercantik dengan akting maksimal dari para pemainnya, khususnya Lutesha. Ia sukses membangun kengerian sebagai seorang karakter indigo. Bahkan kalau boleh dibilang, apa jadinya film Keramat 2 tanpa dukungan akting berkelas dari seorang Lutesha. Ia adalah MVP dari film ini.
Di negara di mana menemukan sebuah film berkualitas sama susahnya dengan menemukan seorang politikus jujur, adalah sangat menyenangkan untuk melihat Keramat 2: Caruban Larang. Film ini pada akhirnya berhasil memadukan mistis tradisional yang sangat menakutkan dalam jalinan cerita yang begitu rapi dengan penampilan yang sangat sempurna dari para jajaran pemerannya.
Lagi-lagi, tanpa bermaksud untuk melebih-lebihkan, Keramat 2: Caruban Larang haruslah dicatat sebagai tonggak sejarah tersendiri bagi sub-genre mockumentary atau found footage di skena perfilman Indonesia.