Review Qodrat: Horor yang Penuh Tragedi, Ketakutan dan Renungan Spiritual
Qodrat merupakan salah satu film horor Indonesia yang coba meramaikan bioskop di suasana Halloween tahun ini. Dibintangi oleh Vino G. Bastian dan Marsha Timothy, Qodrat yang merupakan film ketujuh karya penulis dan sutradara Charles Gozali ini tentunya menjadi film horor yang cukup dinanti-nantikan.
Film Qodrat sendiri berkisah tentang seorang ustadz yang sudah berpuluh tahun menggunakan ilmu ruqyah untuk membantu orang lain. Namun, dalam suatu peristiwa, ustadz bernama Qodrat (Vino G. Bastian) itu justru gagal meruqyah putranya sendiri, Alif Al-Fatanah (Jason Bangun).
Karena kegagalannya itu, Qodrat kembali mempertanyakan apakah ilmunya sudah cukup untuk menjadi seorang ustadz. Qodrat kemudian mencari jawaban atas pertanyaannya itu. Selepas dipenjara, ia kembali ke pesantren di desa tempatnya menuntut ilmu. Sayangnya, kondisi tempat itu sudah tidak seperti dulu, di mana ada gangguan yang tidak dapat dijelaskan oleh akal manusia.
Singkat cerita, Qodrat harus menghadapi traumanya ketika ia mesti meruqyah Alif Amri (Keanu Azka Briansyah), putra bungsu Yasmin (Marsha Timothy). Qodrat tak bisa menolaknya karena nama anak itu sama dengan mendiang putranya. Di tengah ujian yang meremukkan jiwa, Qodrat kembali menghadapi amarah As Suala, iblis yang merenggut nyawa anaknya dahulu kala. Kali ini, Qodrat harus memilih antara mengikuti amarahnya atau menemukan kembali imannya.
Pada hakikatnya, Qodrat merupakan sebuah film lintas genre. Memadukan antara horor dan action. Tetapi pondasi dasarnya tetaplah drama. Sebuah pondasi yang dibangun secara cermat dan kuat, lewat pengadeganan yang efektif. Terdapat pula elemen religi yang cukup kental, sebuah elemen yang ternyata tidak hanya sebagai ornamen penghias narasi.
Elemen religi dalam film Qodrat menjadi sebuah koridor menuju suatu pembangunan konflik. Baik konflik batin ataupun fisik. Menjadikan filmnya kaya akan tekstur. Penulis pun memuji konsistensi film ini dalam menyajikan ceritanya lewat kerangka pandangan relijius tersebut.
Kekayaan tekstur itulah yang kemudian membuat Qodrat menjadi sajian horor yang istimewa. Film ini tidak hanya sekadar mengandalkan efek jump-scares, tetapi juga mengajak sobat nonton untuk peduli dengan karakter-karakternya, dan ikut terlibat secara emosional.
Layar lebar yang menggabungkan cerita horor dengan konsep agama sebenarnya bukan hal baru di industri film nasonal. Film-film produksi Indonesia di era 70 dan 80’an pernah melakukannya. Seperti film Pengabdi Setan atau beberapa film horor yang dibintangi mendiang Suzzanna.
Film horor Amerika pun sering mengusung konsep serupa di atas. The Exorcist hingga ke Conjuring. Tetapi film-film tersebut mengangkat ceritanya dalam sebuah dunia sekular, di mana memandang bahwa moralitas tidak perlu berlandaskan norma agama. Karakter relijius lantas hanya digambarkan sebagai pahlawan pengusir Iblis. Tidak terlampau memiliki arti signifikan kepada karakter lainnya untuk merenungi bahwa selama ini mereka bukan pemeluk agama yang taat.
Nah, film Qodrat justru menjadikan karakter relijiusnya sebagai karakter sentral. Kita diajak merunut cerita lewat sudut pandang seorang Qodrat. Sebagai karakter utama, Qodrat tak lantas ditampilkan sebagai sosok yang putih seratus persen. Dia juga manusia biasa yang kadar keimanannya bisa naik dan turun.
Atmosfer horor dalam Qodrat juga berhasil dibangun lewat practical effect, tata rias, gerak kamera dan musik. Musiknya terdengar jelas mendapat pengaruh dari film-film horor klasik seperti The Exorcist atau The Shining. Beberapa kali terdengar efek yang dihadirkan lewat nada-nada crescendo yang semakin lama semakin kuat untuk membangun ketegangan.
Ada pula sentuhan musik bernada lembut dan syahdu saat adegan dramanya hadir. Penempatannya yang tepat silih berganti, membantu mengatur mood penonton. Musik terdengar nyaris di sepanjang durasi. Terkadang memang terdengar berlebihan, karena ikut meningkahi dialog yang sebenarnya akan lebih kuat bila musik ditiadakan. Efek suara dalam film ini pun efisien dalam menghadirkan teror.
Charles Gozali sebagai sutradara rupanya tahu bagaimana menghadirkan sebuah cerita horor yang dilapisi misteri. Ia tahu kapan harus menghadirkan sosok sang Iblis, kapan harus menyembunyikannya. Ia juga mengerti kapan menghadirkan negative space untuk mengoptimalkan efek jump-scares. Tak berlebihan jika menyebut sekuens pengusiran arwah jahat yang ada di film ini kemudian menjadi salah satu sekuens terbaik di film horor Indonesia.
Naskah film ini yang menitikberatkan pada aspek drama juga memiliki beberapa lapisan. Lapisan yang semakin cerita di filmnya melangkah jauh, semakin dikupas. Naskah yang kuat dan banyak dipenuhi dialog-dialog tentang agama memang, namun penulis tidak melihat dan merasa bahwa berbagai dialog dalam film ini sebagai sebuah alat dakwah yang membuat kita merasa diceramahi.
Betapa indahnya sebuah film horor yang bisa menyandingkan antara tragedi, ketakutan dan perenungan spiritual. Itulah keistimewaan dari film Qodrat yang di masa mendatang akan menjadi sebuah film klasik dan akan menjadi artefak penting dalam sejarah sinema Indonesia.