Review Qorin: Horor yang Tertolong Penampilan Akting Para Pemainnya
Nama Ginanti Rona mungkin masih terdengar asing di telinga beberapa orang. Namun kalau berbicara soal karya-karyanya, pasti semua orang akan mengetahuinya. Mengawali kariernya sebagai asisten sutradara dalam film Rumah Dara (2009), Ginanti sampai saat ini telah menjadi seorang sutradara yang terbilang cukup berhasil.
Paling terbaru dan sangat ditunggu-tunggu, yakni film horor berjudul Qorin. Film Qorin menceritakan kisah tentang seorang siswi di asrama putri yang bernama Zahra Qurotun Aini (Zulfa Maharani). Sudah hampir 6 tahun tinggal di asrama khusus putri itu, Zahra selalu menjadi siswi teladan yang memiliki segudang prestasi di sekolah.
Zahra pun menjadi ambisius dan rela menuruti apapun perintah gurunya, Ustad Jaelani (Omar Daniel), demi mendapatkan nilai tinggi, termasuk menerima tugas untuk menjaga seorang siswi baru yang terkenal nakal bernama Yolanda (Aghniny Haque) dan mengajak para siswi lainnya melakukan ritual qorin.
Zahra tidak menyangka setelah menjalani kedua tugas itu, ia mulai mendapatkan teror dan sering mengalami hal-hal mistis di asrama putri. Kejanggalan tak hanya dialami oleh Zahra karena Umi Hana (Dea Annisa), istri Ustad Jaelani, pun menemukan keanehan-keanehan pada gelagat dan benda-benda yang disimpan oleh suaminya.
Pada dasarnya, film Qorin tahu betul sejauh mana kemampuannya, seperti apa sumber materinya, dan siapa target pasarnya. Sebagai film horor, naskahnya tampil setia dengan formula film horor pada umumnya, namun dengan modifikasi yang seperlunya. Memang tidak groundbreaking, sebab itu bukanlah keharusan. Alhasil, penonton remaja atau orang awam sekalipun akan mendapatkan jenis tontonan yang persis dengan apa yang mereka harapkan di awal.
Sebenarnya, usaha Ginanti Rona selaku sutradara untuk mengalirkan dan menyeimbangkan penuturan narasi di film ini cukup mampu memberikan nyawa bagi pengisahan Qorin, baik melalui pengembangan konflik yang terjadi pada tiap karakter maupun penataan teknis transisi dari satu linimasa cerita ke linimasa cerita yang lain.
Namun, di saat yang bersamaan, konsep penuturan cerita yang dibawakan oleh film ini tidak pernah mampu berkembang secara matang akibat naskah cerita garapan Lele Laila yang begitu kebingungan untuk mengolah ide-ide yang sebelumnya telah terlontar sejak awal film.
Mencoba memberikan singgungan terhadap tema yang dibawakan oleh judulnya, alur cerita film ini menghadirkan beberapa karakter yang melakukan pelanggaran terhadap sejumlah pantangan. Namun, linimasa cerita Qorin kemudian tidak pernah mampu memberikan talian apakah berbagai misteri yang terjadi berhubungan dengan aksi pelanggaran pantangan tersebut.
Elemen cerita yang bernuansa kultural dan religi ini kemudian menghilang begitu saja tanpa pernah diberikan pengembangan yang berarti. Kaitan antara teror yang dialami oleh si karakter protagonis serta kisah kelam dari masa lalu karakter antagonisnya juga tergarap lemah yang kemudian secara perlahan mengarah kepada kemasan konklusi cerita yang sama lemahnya pula.
Arahan Ginanti Rona kali ini juga ternyata berada dalam kualitas pengarahan horor yang seadanya. Dalam banyak kesempatan, Ginanti cenderung memilih untuk memberikan pemaparan cerita yang berkesan lamban untuk menciptakan tatanan horor yang berkesan atmosferik.
Tanpa keberadaan dukungan cerita yang kuat, tata cerita tersebut justru membuat Qorin menjadi tertatih sekaligus hampa. Beruntung, Ginanti memiliki barisan pengisi departemen akting yang mampu memberikan penampilan yang solid.
Terlepas dari mediokernya galian karakter maupun adegan-adegan horor yang diniatkan untuk menghadirkan lonjakan ketakutan yang muncul dalam naskah cerita, Zulfa, Aghniny, Dea, dan beberapa pemain pendukung lainnya hadir dalam kapasitas akting yang membuat karakter-karakter yang mereka perankan terasa hidup dan mudah untuk disukai. Meskipun bukanlah sebuah presentasi cerita yang benar-benar buruk, Qorin terasa kehilangan kesempatan untuk mengolah berbagai potensi yang dimilikinya.