Review Tumbal Darah: Film Horor Slow Burn yang Tidak Membosankan

Bagi penulis, salah satu penyebab stagnasi kualitas horor lokal adalah perihal referensi. Entah disengaja demi memenuhi selera pasar, atau memang banyak sineas kita yang miskin tontonan, apa pun ceritanya, hasil akhirnya nampak seragam. Sampai akhirnya seorang sutradara bernama Charles Gozali memutuskan ikut meramaikan medan perang melalui film Qodrat yang merombak pakem horor religi lewat injeksi elemen martial arts. Walau belum serevolusioner pendahulunya, Tumbal Darah juga berangkat dengan semangat serupa, yakni memodifikasi formula usang horor Indonesia.
Tumbal Darah berkisah tentang Jefri (Marthino Lio) dan istrinya, Ella (Sallum Ratu Ke), yang sedang menantikan kelahiran anak kedua mereka setelah kehilangan anak pertamanya yang bernama Aly. Mereka menamai bayi yang masih berada dalam kandungan itu, Kai. Penantian yang awalnya membahagiakan itu berubah menjadi petaka begitu Ella mengalami kecelakaan saat kandungannya berusia delapan bulan. Hal tersebut membuat posisi bayinya sungsang.
Satu-satunya klinik bersalin yang bisa menolong adalah sebuah tempat misterius yang dikelola pasangan dokter, Iwan (Donny Alamsyah) dan Sandra (Agla Artalidia), serta dibantu asisten bernama Bakar (Aksara Dena). Namun, klinik tersebut menyimpan rahasia mengerikan. Janin-janin yang lahir dijadikan tumbal untuk dua sosok iblis kembar yang kelaparan. Teror kian menjadi ketika iblis di klinik mulai mengamuk, sementara Iwan, Sandra, dan Bakar menekan Jefri dan Ella. Lantas, mampukah Jefri dan Ella menyelamatkan buah hati mereka kali ini?
Well, paruh pertama Tumbal Darah memang cenderung tampil konvensional. Kombinasi efek praktikal dan CGI yang tersaji apik, serta kelihaian Charles dalam mengolah latar sempitnya agar tak terkesan monoton, secara bentuk, membuat filmnya masih berkutat di pemandangan familiar saat satu per satu karakternya berusaha kabur dari teror sang villain.
Bagi kalian yang mengharapkan adanya kengerian setan yang bikin sulit tidur kala malam hari tapi tak bisa sanggup melihat berbagai darah dan kekerasan, ada baiknya putar balik dari film ini. Charles Gozali, bagi penulis, sangatlah ugal-ugalan dalam menempatkan berbagai adegan laga, gore, darah, dan meramunya dengan klenik, mistis, serta CGI.
Penulis sebenarnya juga menyukai gagasan Tumbal Darah yang bisa membuka berbagai peluang pengembangan lebih lanjut dari kisah yang cukup horor ini. Apalagi, berbagai desain dan detail produksi yang sebenarnya terbilang mumpuni. Lokasi syuting dan skala produksinya pun terbilang on point, termasuk dari kostum, prostetik, dan riasannya.
Bila film slow burn bisa membuat sobat nonton mati kebosanan di kursi bioskop, maka Tumbal Darah jelas kebalikannya. Kita seolah-olah tanpa aba-aba dan komando, akan dilempar ke lubang dalam ke inti bumi dan harus bertahan hingga akhir. Intinya, Tumbal Darah mampu membuat penulis sadar bahwa penulis rindu akan film horor Indonesia yang bisa menggoyahkan keberanian hanya dengan adegan sepele, bukan semata-mata karena ada setan dukun era kerajaan kuno Jawa yang ingin balas dendam.








