Review Scream (2022): Horor Menegangkan yang Penuh Sarkasme
Butuh 11 tahun untuk kembali "membangunkan" franchise Scream. Tadinya, proyek yang telah menjadi bahan gosip para pecinta film sejak beberapa tahun silam ini sempat terkatung-katung. Bisa dimengerti, sebab para kreatornya pasti tidak ingin menodai franchise Scream. Apalagi, Scream menjadikan banyak film horror sebagai bahan olok-olokkan. Tentu akan sangat ironis jika kemudian kondisinya malah berbalik.
Sebagai pionir munculnya film horror remaja seperti dwilogi I Know What You Did Last Summer, Urban Legend, dan lain sebagainya, memang kurang sepantasnya jika Scream harus berkualitas buruk. Minimal, masih sanggup menghibur penonton. Lalu apakah keinginan jutaan fans franchise ini akan terpenuhi?
Dua puluh lima tahun sejak pembunuhan pertama oleh sosok bertopeng berjuluk Ghostface di kota kecil Woodsboro, warga kini kembali diteror oleh sosok yang serupa. Korban tewas kembali berjatuhan, dan satu korban yang selamat adalah Tara (Jenna Ortega), adik dari Sam (Melissa Barrera), yang ternyata adalah putri dari Billy Loomis (pembunuh dari seri pertama Scream).
Sam akhirnya meminta bantuan kepada eks sherrif Dewey Riley (David Arquette) untuk membantu mengusut kasus ini, hingga kasus ini pun semakin membesar dan menarik perhatian jurnalis kawakan, Gale Weathers (Courteney Cox) yang juga merupakan mantan kekasih Dewey. Sementara itu, para korban pun terus berjatuhan dengan pola yang mulai terbaca.
Senang sekali rasanya setelah bertahun-tahun lamanya akhirnya kita bisa kembali menyaksikan Ghostface membantai para korbannya. Begitu juga dengan kemunculan kembali 3 karakter utamanya dengan karakterisasi yang kurang lebih sama walaupun terasa bahwa porsi ketiganya tidak lagi sedominan dahulu. Banyaknya karakter baru memang membuat mereka terpaksa sedikit dikurangi porsinya. Bahkan karakter Sidney Prescott (Neve Campbell) juga tidak memiliki jumlah penampilan yang sebanyak film-film sebelumnya. Bisa dibilang selain new rules, Scream kali ini juga sedikit menyegarkan kita dengan pemeran baru yang masih berusia belia.
Dari segi cerita, sejak film dibuka sudah terasa bahwa Matt Bettinelli-Olpin dan Tyler Gillett sebagai sutradara mencoba menghadirkan sisi keunikan dalam film ini. Mereka banyak memberikan penghormatan atau mungkin lebih tepatnya sindiran kepada film-film horror. Formula ini memang sudah dipakai juga dalam film-film sebelumnya di mana terdapat apa yang dinamakan "rules" atau aturan dalam pembunuhan berantai pada sebuah film horror.
Jalan cerita film ini memang pantas jika disebut sebagai suatu penghormatan terhadap film originalnya. Berbagai plot dan jalan cerita terlihat mengambil unsur dari film pertamanya. Terdengar basi memang, tapi dengan cerdik kreator film ini malah sengaja menyindir dan memadukan keklisean dengan berbagai humor yang mampu membuat kita tertawa. Lihatlah bagaimana film ini juga seperti mengolok-olok para fandom atau sinefilia yang terlalu toxic atas sebuah film.
Ya, naskah buatan James Vanderbilt dan Guy Busick ini memang tampil sangat mengejutkan. Setelah Scream 4 yang cukup memuaskan, ada kekhawatiran jika kualitas lanjutan kisahnya kali ini akan bernasib seperti Urban Legends: Final Cut yang lebih konyol alias terjun bebas. Untunglah hal itu sama sekali tidak terjadi di sini. Penantian panjang para fans benar-benar terbayarkan.
Tidak mampu melebihi apa yang dihadirkan oleh Scream pertama memang, namun Scream 5 kali ini tentunya tetap tampil lebih baik ketimbang Scream 2 dan 3. Duo Olpin dan Gillet mampu menampilkan sejumlah adegan penggedor jantung yang diselingi dengan dialog-dialog jenaka nan menggelitik sebagai pencair ketegangan (dengarkanlah kala salah satu karakter menerangkan tentang apa itu film "requel").
Sekali lagi, melihat bagaimana cara Scream 5 kali ini mengolok-olok banyak film horror sungguh mengasyikkan. Dari Psycho, Friday the 13th, Halloween, The Babadook, It Follows, The Witch, hingga Hereditary, semua sukses "diolok-olok" secara halus. Bagi yang belum mengenal franchise Scream, memang inilah semangat yang diusung oleh Scream. Tidak membanyol seperti Scary Movie, ejekannya lebih bersifat sarkastis.
Naskah buatan Vanderbilt dan Busick juga sedikit banyak menyinggung mengenai perilaku remaja masa kini. Inilah mengapa penulis begitu mencintai franchise Scream. Meskipun dibangun dengan plot yang klise, namun sindirannya hampir tak pernah meleset. Belum lagi opening dan ending-nya yang tak pernah mengecewakan. Benar-benar film pembuka tahun yang sangat sempurna!