Review Sri Asih: Suguhkan Kualitas Audio dan Visual yang Memuaskan
Tiga tahun silam, Gundala mengawali Jagat Sinema Bumilangit yang merupakan proyek film superhero paling ambisius sepanjang sejarah sinema Indonesa. Ya, karena mungkin banyak dari kita yang menekankan urgensi menonton pada kualitas, mungkin bisa dikatakan bahwa karya Joko Anwar tersebut masih meninggalkan banyak kekecewaan.
Kini sambutlah Sri Asih, film kedua dari “phase 1” Jagat Sinema Bumilangit. Kursi penyutradaraan lalu diserahkan kepada Upi, seorang sutradara wanita yang cenderung mengedepankan unsur maskulinitas dari sebagian besar karya-karyanya.
Sri Asih berkisah tentang seorang perempuan bernama Alana (Pevita Pearce). Ia diketahui lahir bersamaan dengan letusan gunung berapi yang membuat diriya harus berpisah dengan kedua orang tuanya. Sejak kecil, Alana tak mengerti kenapa ia selalu dipengaruhi oleh rasa amarah. Namun, ia tetap selalu berusaha untuk melawannya.
Seiring waktu berjalan, Alana dewasa tumbuh menjadi orang yang semakin sulit mengendalikan emosinya. Tak hanya itu, kian hari Alana memiliki fisik yang semakin kuat melebihi manusia normal pada umumnya.
Suatu ketika, Alana sadar bahwa dirinya adalah reinkarnasi dari Dewi Asih yang memiliki kekuatan super yang bertugas untuk melindungi orang-orang sekitar. Akan tetapi, layaknya manusia super lainnya, kekuatan tersebut bisa menjadi berkah bagi manusia atau bisa juga menyebabkan kehancuran bagi dunia. Lantas, jalan mana yang dipilih oleh Alana?
Seperti pendahulunya, Jagat Sinema Bumilangit adalah dunia kelam yang dilebih-lebihkan tanpa harus kehilangan relevansi. Krisis moral dan kemanusiaan turut disorot, sehingga pemilihan Mateo Adinegara (Randy Pangalila) sebagai antagonis di sini merupakan keputusan tepat. Si anak dari seorang mafia penguasa ini menyimpan masa lalu kelam. Ia sudah akrab dengan aksi kriminal sejak kecil.
Pertentangan Alana melawan Mateo menciptakan dinamika menarik. Sama-sama dinaungi sebuah motivasi, Alana merasa perlu “membela”. Bukan sekadar menghilangkan keklisean hitam melawan putih, melalui elemen itu, Upi sebagai sutradara juga mengingatkan jika manusia selalu punya dua pilihan: Menjadikan masa lalu suram sebagai justifikasi perbuatan buruk, atau pelecut semangat ke depannya.
Naskah Sri Asih pun sanggup cukup seimbang menghadirkan drama yang berdiri sendiri dengan proses menanam benih bagi masa depan Jagat Sinema Bumilangit. Walau aspek yang disebut terakhir tadi sempat memberi distraksi saat menyoroti intensi terselubung dari salah satu karakter (maaf, penulis tak bisa menyebutkan siapa karakternya di sini), plus sebuah kejutan jelang akhir film. Melaluinya, rasa penasaran serta ketertarikan terhadap masa depan jagat sinema satu ini berhasil dipancing.
Sementara di departemen penyutradaraan, Upi membuktikan bahwa pemilihan dirinya adalah keputusan tepat, ketika mulus membaurkan elemen machoisme sebagai ciri khasnya. Gejolak batin Alana sebagai sosok Sri Asih dibungkus layaknya film-film misteri, sedangkan jajaran lawan Sri Asih digambarkan bak horror villain. Pendekatan ini sesuai dengan gaya komik pahlawan super lokal yang kerap meleburkan beraneka genre.
Seperti yang telah ditonjolkan melalui materi promosinya, Sri Asih memang memilih nada penceritaan yang cenderung mendekati sederet judul dalam semesta film binaan DC Entertainment ketimbang Marvel Studios. Depresif serta kompleks adalah jalan ninjanya. Sebuah pendekatan yang memungkinkan bagi sang sutradara untuk mempertahankan ciri khasnya. Namun tak perlu khawatir, sebab Upi tetap mencurahkan humor-humor segar yang sejak dulu mampu memperkaya warna karyanya.
Tapi hal-hal di atas tadi bukan kekhawatiran penulis bagi proyek ini. Bukan pula kualitas CGI, yang untungnya digunakan secara bijak, walau keterbatasan dana turut mengecilkan kesempatan Sri Asih memamerkan sabetan selendang merahnya. Bagaimana Upi bersama sinematografi garapan Arfian yang menangkap gelaran laga hasil rancangan Uwais Team-lah sumber kekhawatiran tersebut. Untungnya, Upi berhasil menjawab tantangan tersebut.
Sisi action yang menjadi salah satu kelemahan dari film Gundala berhasil diperbaiki di sini. Kamera cenderung setia mengikuti tiap gerakan. Mayoritas baku hantam pun bergulir amat cepat. Berbanding terbalik dengan yang ada di film Gundala silam, yang seolah sedang menonton gladiresik ketimbang produk final. Teknik yang dihadirkan Upi beserta jajarannya efektif membungkus perkelahian “kasar” ala jalanan.
Pada akhirnya, sukar untuk tidak merasa kagum pada pencapaian yang berhasil dilakukan Upi melalui Sri Asih ini. Dengan durasi sepanjang 135 menit yang pastinya cukup terbatas bagi sebuah film yang berusaha untuk mengenalkan sebuah semesta pengisahan yang begitu luas, Upi sukses memberikan bangunan kisah tentang dunia yang diisi oleh sosok pahlawan super dengan kualitas teknis audio dan visual yang sangat memuaskan, namun tidak pernah lupa pula akan sentuhan personalnya yang kuat dalam menyinggung berbagai isu sosial yang sedang menghangat.