Review The Fabelmans: Kisah Tentang Sinema di Mata Steven Spielberg
Sulit untuk tidak mencintai The Fabelmans. Ini adalah sebuah surat cinta yang ditujukan oleh Steven Spielberg khusus untuk sinema. Isinya berupa ungkapan hati dari seseorang yang sangat mengagumi keindahan dan magis dari sebuah film. Sebagai pecinta film, rasanya hampir mustahil sobat nonton tidak terpukau dengan film terbaru dari sineas gaek ini.
Wujud kecintaan Spielberg terhadap sinema, dan untuk pertama kalinya pasca hampir 50 tahun berkarir, diwujudkannya dalam bentuk film semi autobiografi ini. Dengan membesut drama keluarga seperti The Fabelmans, tentu pasarnya akan lebih luas sehingga pesan yang ingin disebarkan dapat diterima oleh banyak orang dari setiap lapisan usia.
Seperti yang telah disinggung di atas, The Fabelmans sendiri adalah sebuah kisah semi-autobiografi yang secara longgar didasarkan pada masa remaja Spielberg dan tahun-tahun pertamanya sebagai seorang sutradara film.
Film ini diceritakan melalui kisah fiksi seorang pemuda bernama Sammy Fabelman (Gabriel LaBelle), seorang pembuat film muda yang bercita-cita tinggi, yang mengeksplorasi bagaimana kekuatan film dapat membantunya melihat kebenaran tentang disfungsionalnya keluarga dan orang-orang di sekitarnya. Film ini juga sengaja didedikasikan sebagai kenangan untuk kedua orang tua Spielberg di kehidupan nyata, yakni Arnold Spielberg dan Leah Adler.
Jika Michel Hazanavicius berhasil mencurahkan kecintaannya pada film bisu lewat The Artist pada tahun 2011 silam, dan Martin Scorsese membuat love letter untuk salah satu bapak sinema dunia, George Melies, dalam film Hugo, maka kali ini giliran Steven Spielberg yang menjabarkan kecintaannya pada dunia film dalam The Fabelmans.
Di bagian awal, memang film ini masih terlihat sebagai sebuah film keluarga yang tidak begitu menonjol. Tapi begitu Spielberg mulai lebih dalam lagi menyoroti sang tokoh utamanya, film ini berubah menjadi makin menarik dan seru. Secara perlahan The Fabelmans mulai memperlihatkan "sihir" yang ia punyai. Naskah yang ditulis Spielberg bersama Tony Kushner ini tetap ringan dari awal hingga akhir, akan tetapi sama sekali tidak pernah menjadi membosankan dan klise setelah inti ceritanya mulai diungkap sedikit demi sedikit.
Dalam beberapa bagian, The Fabelmans memang diisi oleh konflik rumah tangga yang cukup intens. Tapi mengatakan The Fabelmans menjadi film drama yang super duper serius juga tidaklah sepenuhnya tepat, karena apa yang ada di sini pada dasarnya adalah sebuah ungkapan rasa cinta Spielberg terhadap magisnya sinema yang bisa memberikan pengaruh begitu besar dalam perjalanan hidupnya berkat sisi imajinasi dan fantasi luar biasa yang diciptakannya.
Harus diakui, kesuksesan terbesar dari The Fabelmans muncul karena pengarahan yang sangat solid dari Steven Spielberg. Ia sepertinya sangat mengerti bahwa naskah cerita yang ia tuliskan merupakan sebuah gambaran cerita yang sangat sederhana dan hanya membutuhkan sentuhan penampilan akting yang kuat dari para jajaran pemerannya untuk mampu mengeluarkan esensi drama yang terdapat di dalamnya.
Sejatinya, setiap kali menonton film, kita mengintip sebuah dunia rekaan dari balik lubang kecil berbentuk persegi panjang. Perumpamaan ini dieksekusi Spielberg hingga ke sendi-sendi pendukung cerita. Plot utama The Fabelmans sesekali memang terinterupsi oleh momen-momen dan karakter-karakter sampingan yang sebenarnya tak berhubungan dengan cerita. Walau begitu, Spielberg berhasil menjaga agar narasi film ini tetap fokus.
Tokoh-tokoh sampingan yang dihadirkan dalam film ini terasa hidup dan tidak seperti tempelan, karena masing-masing diberi garis cerita yang sederhana dan waktu yang cukup signifikan untuk berkembang, sehingga penonton punya cukup kesempatan untuk mengenal mereka.
Satu hal yang bisa sobat nonton pelajari dari The Fabelmans adalah sinema memungkinkan manusia untuk tidak saja merekam realita, tapi juga memanipulasinya dan menciptakan realitanya sendiri. Sinema adalah medium artifisial yang tunduk pada keinginan operatornya, dan artifisialitas medium film inilah yang ditekankan Spielberg dalam film ini.
Melalui kosmetik sinematik yang tak asing bagi penonton sekarang, Spielberg seperti mengajak kita untuk mengenang kembali pencapaian masa lampau yang memungkinkan segala kekayaan sinematik dapat kita nikmati saat ini. Demi sinema dan cinta semua orang yang pernah terlibat dengannya, The Fabelmans adalah sebuah nostalgia manis dari Steven Spielberg untuk masa depan.