Review A Man Called Otto: Kental dengan Nuansa Dark Comedy
Apakah sobat nonton pernah membaca buku berjudul A Man Called Ove? Buku karya novelis Fredrik Backman yang bertema tentang cinta dan persahabatan tersebut secara tak terduga berhasil terjual lebih dari 7 juta kopi di seluruh dunia dan tetap berada di daftar buku terlaris New York Times selama 77 minggu berturut-turut pada saat peluncurannya.
Buku tersebut kemudian diadaptasi ke layar lebar oleh SF Studios, yang merilis filmnya pada tahun 2015, dan meraih dua nominasi Oscar. Film yang disutradarai oleh Hannes Holm kala itu berhasil menjadi film berbahasa asing terlaris di Amerika Serikat pada tahun 2016.
Kini, Tom Hanks bersama sang istri, Rita Wilson, rupanya kepincut untuk meremake film tersebut ke dalam versi Hollywood. Diperanutamai oleh Tom Hanks langsung, kursi penyutradaraan kini diserahkan kepada Marc Forster, yang pernah menggarap kisah-kisah drama seperti Monster’s Ball, Finding Neverland, The Kite Runner, dan Christopher Robin.
Otto Anderson (Tom Hanks) adalah seorang lelaki paruh baya yang kaku, pemarah, dan terkesan anti sosial. Keseharian Otto terkesan monoton. Dia selalu mengecek keamanan kompleks tempat tinggalnya, seperti pintu-pintu garasi, pagar yang dipenuhi dengan berbagai rambu, dan lain sebagainya. Ia juga hampir selalu bertikai dengan setiap warga sekitar yang dianggapnya selalu menyalahi aturan yang telah ditetapkan dalam komunitas tersebut.
Lelaki yang hidup dalam bayang-bayang kematian istrinya itu lalu merasa hidupnya tak lagi berguna dan memutuskan untuk bunuh diri dengan berbagai cara. Namun tanpa diduga, usahanya tersebut selalu menemui kegagalan karena tingkah polah para tetangganya, khususnya Marisol (Mariana Treviño) yang menjadi tetangga terdekat Otto.
Sesungguhnya, A Man Called Otto adalah sebuah film yang kental dengan nuansa komedi hitam. Otto sebagai karakter sentral mampu dengan baik mentransformasikan tragedi dalam hidupnya yang sebenarnya menyedihkan tetapi malah menjadi lucu tanpa harus kehilangan maknanya yang tersirat.
Keragaman aspek kehidupan dijadikan target humor dalam film ini. Seperti kebijakan harga di supermarket, transgender, parenting, kebijakan publik, persahabatan, cinta, hingga kematian. Semuanya dikemas dengan baik menjadi suatu kelucuan tersendiri yang akan membuat sobat nonton tertawa.
Teknik kilas-balik dalam menggambarkan masa lalu Otto juga ditampilkan dengan baik. Kilas-balik ini muncul seiring dengan usaha Otto untuk bunuh diri. Inilah yang membuatnya terasa lebih menyentuh. Dari sinilah kita bisa melihat Otto yang lain, jauh dari gambaran Otto tua yang kita lihat sebelumnya.
Dalam kilas-balik tersebut, Otto muda hadir dengan kehidupan yang lebih berwarna. Terkadang sedih, bahagia, tragis, dan juga romantis. Seperti ketika Otto muda pertama kali bertemu dengan kekasihnya yang kelak akan menjadi istrinya yang bernama Sonya (Rachel Keller) dan kemudian menjalani hari demi hari bersama.
Sebenarnya, gambaran masa lalu Otto di atas tadi tidaklah istimewa, bahkan bisa dibilang biasa saja. Sobat nonton mungkin akan menjumpai hal sejenis di film-film lain. Tapi entah kenapa, kita masih dapat merasakan emosi mendalam dari adegan-adegan yang ditampilkan tersebut. Hal itu tidak terlepas dari kepiawaian akting Truman Hanks, si pemeran Otto muda, yang notabene adalah putra kandung dari Tom Hanks sendiri.
Setting yang ditampilkan dalam film ini juga amat mendukung bagi kepentingan cerita. Kompleks perumahan yang nyaman beserta segala aktifitas setiap warganya sangat mendukung pesan yang ingin disampaikan oleh film ini.
Pesan dari film ini sebenarnya amat sederhana, tetapi juga sangat relevan dalam kehidupan sosial khususnya di negara maju, di mana ketidakpedulian dan ketidakpercayaan satu sama lain telah menjadi ciri tersendiri di dalam kehidupan masyarakat modern. Seperti yang diucapkan oleh karakter Marisol kepada Otto di salah satu adegannya, bahwa tidak ada yang mampu hidup sendiri. Ya, setiap orang haruslah saling membantu satu sama lain. Siapapun itu tak terkecuali, bahkan seorang idiot sekalipun.