Review Assassin Club: Ketika Pembunuh Bayaran Jadi Target Sesama Pembunuh Bayaran
Pembunuh bayaran termasuk profesi yang terdengar menyeramkan. Tapi dalam film, pembunuh bayaran bisa jadi tema yang sangat seru untuk ditonton. Pembunuh bayaran juga selalu identik dengan orang jahat yang suka menghabisi nyawa orang, namun saat dikemas dalam sebuah film, penonton akan diajak untuk melihat sisi lain dari profesi sadis tersebut.
Sesuai judulnya, Assassin Club adalah sebuah film anyar yang dibintangi oleh Henry Golding yang mengangkat tentang profesi pembunuh bayaran. Alkisah, Morgan Gaines (Henry Golding) adalah seorang pembunuh bayaran yang sedang disewa untuk membunuh enam orang target di lokasi yang berbeda.
Morgan merupakan pembunuh bayaran yang terkenal di kalangan mata-mata internasional dan dapat dengan mudah menemukan keenam orang tersebut. Namun, Morgan justru terjebak dalam situasi bahwa target yang dia kejar merupakan pembunuh bayaran yang juga disewa untuk membunuhnya.
Morgan harus bertarung melawan pembunuh bayaran bernama Falk (Noomi Rapace) yang memiliki kemampuan sekelas dengan dirinya. Morgan lalu dibantu oleh mentornya yang bernama Jonathan Caldwell (Sam Neill) untuk mengalahkan Falk. Morgan juga harus menjaga dan menyelamatkan kekasihnya, Sophie (Daniela Melchior), agar tetap hidup dan selamat dari kejaran pembunuh bayaran tersebut. Bagaimana kelanjutan kisah Morgan? Dan bagaimana cara Morgan melindungi kekasihnya?
Sebenarnya, sinopsis di atas tadi masih punya liku-liku lainnya, tapi untuk menjaga kesan menarik dari film ini mari kita berhenti sampai di situ saja. Benar, untuk menjaga daya tarik sobat nonton pada film ini hanya itu upaya yang bisa penulis lakukan di review ini, karena setelah kalimat ini yang akan sobat nonton temukan adalah limpahan rasa kesal pada sang sutradara film ini yang secara resmi telah merusak image pembunuh bayaran yang selama ini kita kenal dalam film-film.
Seorang pembunuh bayaran pasti identik dengan sosok yang dingin, misterius, dan walapun selalu dekat dengan masalah, namun di sisi lain ia juga selalu mampu membuat kita semua yakin bahwa ia merupakan sosok tangguh yang akan menghancurkan semua rintangan. Lalu bagaimana dengan film ini?
Kala menonton Assassin Club, kita seperti sedang menyaksikan seorang aktor yang salah casting menjadi seorang pembunuh bayaran. Dari sisi pola cerita memang masih sama dengan film-film sejenis. Ada liku-liku di dalam skenario yang perlahan mulai tampak berbelit-belit yang dikemas oleh Camille Delamarre selaku sutradara dengan gerak cepat. Tapi sayangnya, Henry Golding malah menjadikan sosok karakternya hanya sebagai boneka yang annoying tanpa pesona.
Tapi menariknya, ketika film ini berakhir, penulis seperti tidak rela juga jika sepenuhnya mencap kegagalan film ini akibat performa Henry Golding seorang, karena di elemen lainnya Assassin Club juga sama jeleknya, dari cerita, karakterisasi, permainan masalah, hingga eksekusi sutradara, semuanya terasa tipis.
Tim pembuat film ini seperti sekelompok orang yang sadar bahwa apa yang akan mereka tampilkan sangat lemah dan di sepanjang kesempatan yang ada, mereka lebih berusaha untuk menutup kelemahan tersebut ketimbang mengeluarkan sisi positif dari materi yang mereka punya.
Karena pada dasarnya, penonton film genre ini tidak menuntut sebuah terobosan yang benar-benar baru dari segi cerita maupun karakter. Para penonton hanya butuh diyakinkan bahwa yang sedang mereka tonton adalah sebuah sajian film action tentang pembunuh bayaran, tidak lebih. Namun sayangnya, sejak awal, film ini tak berhasil untuk menciptakan keyakinan dasar tersebut.