Review Autobiography: Film Tentang Orde Baru?
Setelah melanglang buana ke berbagai festival film internasional, Autobiography akhirnya dirilis di Indonesia. Film ini memang memulai perjalanan panjangnya dari tahun 2017, ketika mengikuti ajang Torino Film Lab di tahun tersebut. Hingga akhirnya proses produksi film ini baru bisa dimulai pada tahun 2021 yang lalu.
Rakib (Kevin Ardilova), pembantu rumah tangga berusia delapan belas tahun tinggal di rumah pedesaan ketika Purna (Arswendy Bening Swara), sang pemilik rumah, tiba-tiba kembali. Seorang pensiunan jenderal, Purna telah mendeklarasikan diri sebagai kandidat dalam pemilihan pemimpin lokal, menjalankan kampanye yang berfokus pada modernisasi dan pembangunan.
Desa ini sering mengalami pemadaman listrik dan Purna mengusulkan untuk membangun pembangkit baru yang mengharuskan banyak penduduk menyerahkan tanah mereka. Karena ayahnya dipenjara dan saudara laki-lakinya bekerja di luar negeri, ada sosok ayah dalam kehidupan Rakib yang diisi oleh Purna.
Purna menjadikan Rakib sebagai anak buah, peran yang tampaknya ingin diambil oleh bocah itu sampai tindakan vandalisme kecil membuat Purna marah. Dia memerintahkan Rakib untuk melacak pelakunya, yang kemudian dihukum secara brutal atas kejahatannya. Menyadari bahwa dia terserap ke dalam budaya kekerasan, Rakib pun mencoba melarikan diri.
Bisa dikatakan, Autobiography dengan sangat baik merangkum kengerian orde baru dengan sangat halus nan mencekam. Bila kita pernah hidup di era orde baru atau merasakannya secara langsung, maka film ini akan menjadi jawaban seperti apa dan bagaimana sosok Jenderal digambarkan dengan segala kengeriannya.
Eksplorasi sejarah tentang efek kediktatoran militer di Indonesia sukses digambarkan oleh Makbul Mubarak, sehingga menjadikan Autobiography seolah seperti film horor. Suasana dan karakternya sukses membuat kita semua menjadi tidak nyaman. Memang benar apa yang pepatah katakan bahwa “history repeats itself”.
Film ini juga melahirkan sebuah pertanyaan besar. Apa saja yang akan berubah dalam perputaran sejarah, dan apa saja yang akan tetap dan terus berulang. Kita semua tidak akan tahu dalam perputaran sejarah nanti apakah kita akan mengulang hal ini atau malah kita yang akan menghentikan lingkaran setan ini.
Karakter sinema seorang Makbul Mubarak juga tercermin di film ini, melekat di beberapa adegan-adegannya. Naskahnya sederhana, namun dengan dialog yang saling berkesinambungan, membuat atmosfir di film ini hidup. Percikan konflik pun dibawa perlahan hingga mencapai klimaks.
Bakal ada banyak sekali hal yang bisa didiskusikan dari karya monumental yang satu ini. Mulai dari skrip, desain produksi, casting, karakterisasi, sinematografi, hingga musik. Hampir semua aspek yang tidak akan cukup dibahas di sini. Seperti isu seksualitas dan relasi kuasa yang digambarkan dengan sangat baik dan penuh dengan simbol-simbol bermakna. Catur, menjadi simbol yang paling sering muncul di film ini, yang menggambarkan relasi kuasa antara raja dan para prajuritnya.
Hegemoni kekuasaan dalam ruang lingkup gerak dan rasa tubuh manusia juga sangat tercermin dalam film ini. Luar biasa kesan mendalam yang penulis rasakan selama menonton film ini. Dalam beberapa tahun ke depan, film ini akan punya ruang sendiri dan akan menjadi pengingat dan pendobrak sebuah generasi.
Film ini juga akan memberi dua pilihan kepada sobat nonton: melawan dan tetap menjadi manusia bebas, meski harus mati (setidaknya mati dengan idealisme yang masih ada), atau melawan dan membunuh sang kuasa, menjadi penguasa dari penguasa.