Loading your location

Review Concrete Utopia: Sempurna!

By Ekowi25 Agustus 2023

Sinema Korea Selatan seakan tak henti-hentinya memberikan kejutan kepada kita. Setelah Smugglers yang belum lama ini menawarkan kisah yang unik, kini giliran Concrete Utopia yang coba menawarkan sebuah premis menarik lainnya, yakni tatkala manusia sudah tidak memiliki logika dan segala cara pun akan dihalalkan.

Concrete Utopia berkisah tentang kehidupan di kota Seoul setelah gempa bumi dahsyat yang menyebabkan kerusakan parah hingga hanya tersisa puing-puing. Namun, ada satu-satunya tempat yang masih utuh setelah diguncang gempa dahsyat tersebut, yaitu apartemen Hwang Goong.

Seiring berjalannya waktu, orang-orang dari luar mulai berdatangan ke apartemen Hwang Goong untuk mencari perlindungan dari udara yang sangat dingin. Tidak lama kemudian, penghuni apartemen merasa kewalahan dengan jumlah pendatang baru yang semakin banyak.

Merasakan ancaman terhadap kelangsungan hidup mereka, para penghuni memutuskan untuk mengambil langkah khusus. Young Tak (Lee Byung Hun), memimpin para penghuni apartemen untuk membangun benteng pertahanan agar tidak dimasuki oleh penduduk luar. Sementara itu, Min Sung (Par Seo Joon), seorang petugas publik, diminta Young Tak untuk membantunya melindungi apartemen. Kemudian, istri Min Sung, Myung Hwa (Park Bo Young), yang juga seorang perawat, bertugas mengobati dan merawat orang-orang yang terluka setelah gempa.

Lalu, bagaimanakah nasib mereka? Siapakah yang mampu bertahan di apartemen Hwang Goong?

Seperti yang sudah disebutkan di atas tadi, Concrete Utopia memang menjadi kejutan terbaru dari Korea Selatan. Tak heran jika film ini dijadikan perwakilan Korea Selatan untuk bersaing di ajang Oscar 2024. Mungkin penulis terkesan berlebihan, tapi percaya atau tidak, sangat sulit untuk menemukan susunan kalimat yang tepat untuk menggambarkan betapa sempurnanya film bergenre distopia yang satu ini.

Sisi emosional tiap karakternya berhasil digali dengan amat dalam, walaupun ada sedikit keterbatasan, yakni banyaknya karakter utama dan karakter pendukung, sehingga sedikit banyak akan mempengaruhi jatah screentime mereka, dan waktu dari para penonton untuk 'berinteraksi' dengan para karakter tersebut.

Tapi, walau minim interaksi yang intense dengan satu katakter tertentu, penonton tetap berhasil diajak untuk ikut merasakan kebingungan, kebimbangan, keraguan, dan kerap kali mempertanyakan ulang pada diri sendiri atas keputusan-keputusan yang dibuat oleh para pemilik apartemen tersebut lewat akting tanpa dialog.

Sepanjang film kita dibuat ikut merasakan pergulatan antara hati nurani dengan akal pikiran. Mana yang benar, mana yang salah. Semua abu-abu dan terasa dilematis karena masing-masing pendirian tampak punya dalil yang kuat untuk dipertahankan. Apakah keputusan yang mereka ambil sudah benar? Apa sebenarnya definisi 'benar' di sini? Benar untuk kita atau untuk semua? Untuk tetap bertahan hidup atau untuk berbagi kehidupan?

Pada akhirnya, film ini seperti mendefinisikan ulang apa itu negeri utopia? Apakah benar utopia bisa diterapkan di dunia ini dengan karakter dasar manusia yang telah dipenuhi oleh kebusukan? Apakah utopia harus berupa sesuatu yang diatur secara ketat dan tertata dalam sebuah sistem? Atau justru utopia hanyalah sesederhana memanusiakan manusia? Dan semua jawabannya ada di diri kita masing-masing.

Sobat nonton, jangan lupa bagikan tulisan ini ya!

NOW PLAYING

Wicked
SUN TREE
Red One
DEVILS STAY

COMING SOON

Zanna: Whisper of Volcano Isle
Orang Dalam
Mickey 17
Pengantin Setan