Review Indigo: Amanda Manopo Layak Diperhitungkan
Zora (Amanda Manopo) memiliki seorang adik bernama Ninda (Nicole Rossi) yang mengidap skizofrenia. Tapi, seorang paranormal bernama Sekar (Sara Wijayanto) menyatakan bahwa Ninda ternyata adalah seorang indigo, pemilik indera keenam yang bisa melihat dunia lain, dan nyawa Ninda terancam oleh sosok tak kasat mata yang terus mengganggunya.
Untuk menyelamatkannya, bantuan Zora diperlukan. Pasalnya, ketika kecil Zora ternyata adalah seorang indigo yang kemampuannya sudah ditutup. Sekarang, kemampuannya tersebut harus dibuka kembali demi bisa menyelamatkan sang adik.
Dan ketika kemampuannya itu terbuka kembali, Zora mau tidak mau harus beradaptasi menjadi seorang indigo, menghadapi sook dari dunia lain, sekaligus menguak misteri masa lalu yang menakutkan.
Itulah kisah yang tersaji dalam karya terbaru sutradara Rocky Soraya berjudul Indigo. Menurut penulis, layaknya dua film besutannya sebelumnya, yakni The Doll dan Mata Batin, Rocky masih hadir dengan gaya yang sama. Contoh paling kentara adalah adegan kekerasan berdarah dengan beratus-ratus pecahan kaca yang tak cukup merenggut nyawa manusia. Ini masih menjadi titik tertinggi, walau kali ini porsinya tak mendominasi.
Begitu pula dengan pengadeganan berbasis kekacauan suasana yang mengandalkan gerak kamera dinamis garapan sinematografer Dicky R. Maland. Paling tidak, film ini masih tampil berenergi berkat kedua aspek tadi, sekaligus memunculkan harapan, suatu hari kelak Rocky Soraya berminat untuk membuat film slasher.
Dengan menggunakan energi yang sedemikian tinggi tadi, Indigo ibarat manusia dengan raga yang sangat solid. Namun tidak dengan jiwanya, ketika cara menakut-nakuti Rocky masih berkutat di metode penampakan gamblang bersuara berisik, ditambah desain hantu yang menganggap bahwa kengerian berbanding lurus dengan kerusakan wajah.
Hal tersebut memang bisa efektif untuk beberapa penonton, namun ketika pengulangan-pengulangannya ngotot untuk dipertahankan, timbul kelelahan juga kebosanan. Klimaksnya juga hadir secara tumpul bagaikan rumah hantu pasar malam murahan. Sial bagi Rocky, jumpscare terbaik yang diperlihatkan di sini sudah sering kita temui dalam banyak film horor sehingga dampaknya tidak sekuat harapan.
Adapun Sara Wijayanto, yang tampil menuturkan rangkaian pemahaman terkait aturan serta ragam sisi alam gaib dan mata batin, terbilang kurang maksimal lantaran kurang piawaianya penulis naskah, Riheam Junianti, dalam menyusun informasi-informasi berharga tersebut menjadi struktur alur yang bisa membedakan Indigo dengan judul-judul bertema serupa di atas tadi.
Tekait beberapa twist, naskahnya pun kedodoran. Ada yang meninggalkan setumpuk lubang logika menganga, ada pula yang bagai kurang akal dalam caranya mengungkap fakta. Tapi sekali lagi, Indigo sama sekali tidak buruk. Amanda Manopo mulus merespon ragam situasi menyeramkan yang dialami oleh karakternya. Itu membuktikan dirinya pantas diberi proyek dengan production value berkelas seperti ini.