Review Missing: Film Thriller yang Inovatif
Terima kasih atas perkembangan yang sangat pesat dari teknologi di bidang komunikasi. Sehingga kini jarak bukanlah sebuah hambatan bagi manusia untuk terus berhubungan antara satu dengan yang lain. Namun, di saat yang bersamaan, apakah jalinan hubungan yang mampu dijaga dengan baik oleh perkembangan teknologi di bidang komunikasi tersebut membuat kita benar-benar mengenal orang-orang yang berhubungan dengan kita?
Pertanyaan di atas itulah yang coba diajukan oleh duo sutradara Nicholas D. Johnson dan Will Merrick lewat film yang menjadi debut pengarahan film layar lebarnya, Missing, yang merupakan stand alone sequel dari film bergenre screenlife (sebuah genre di mana seluruh kisah film diceritakan lewat sebuah layar digital: seperti layar smartphone, tablet, atau monitor komputer) yang sempat menghebohkan publik pada tahun 2018 silam yang berjudul Searching.
Judul film Missing terdengar sebagai sebuah kisah drama yang bernada serius? Oh, jangan khawatir. Lewat premis yang berkisah tentang pencarian seorang anak terhadap ibunya yang menghilang secara misterius, Nicholas dan Will mampu menghadirkan sajian pengisahan yang dipenuhi intrik, misteri, dan momen-momen menegangkan. Oh, dan tentu saja, membuat setiap penonton mempertanyakan kembali arti kehadiran berbagai perangkat komunikasi elektronik yang hadir dalam setiap interaksi keseharian mereka.
Alur cerita film Missing bermula saat Grace (Nia Long) pergi berlibur selama sepekan bersama pacar barunya, Kevin (Ken Leung). Seminggu berlalu, sang anak yang bernama June (Storm Reid) lalu pergi untuk menjemput ibunya dan Kevin di Bandara International Los Angeles, tetapi mereka berdua justru tidak pernah muncul. Menyadari hal itu, June melapor kepada pihak berwenang bahwa ibunya dan Kevin tidak ditemukan serta tidak bisa dihubungi.
Frustrasi dengan kurangnya kemajuan penyelidikan FBI, June memutuskan untuk menyelidikinya sendiri menggunakan berbagai alat digital yang dimilikinya. Mulai dari Google Maps untuk melacak riwayat lokasi ibunya di Kolombia, pesan Facebook, riwayat pencarian Internet, dan lain sebagainya. Lantas, bagaimana kisah selanjutnya? Apakah June berhasil menemukan di mana ibunya? Lalu siapa sebenarnya Kevin itu?
Pengembangan plot, konflik, maupun karakter dalam Missing memang tidak menawarkan sesuatu yang baru. Meskipun begitu, jangan berharap untuk menyaksikan sebuah paparan kisah yang “seadanya” layaknya judul film ini. Seperti premis film ini yang berusaha menggambarkan bagaimana pencarian seorang anak akan ibunya yang menghilang melalui berbagai jejak digital-nya, seluruh narasi film ini dihantarkan dari sudut pandang berbagai perangkat elektronik yang digunakan karakter June dalam pencariannya, mulai dari iPhone, Macbook, rekaman video di YouTube, hingga kamera CCTV.
Mungkin film ini akan mengingatkan sobat nonton pada thriller Unfriended yang dirilis pada tahun 2014 lalu, atau film Searching sendiri yang merupakan induk dari film Missing ini. Namun ternyata, sang filmmaker mampu mengolah tampilan visual berteknologi tersebut menjadi lebih dari sekadar gimmick belaka dan justru menjadi salah satu elemen pembangun unsur ketegangan dalam jalan cerita Missing. Poin tersebut otomatis menjadi nilai tambah film ini sebagai sebuah film thriller yang inovatif.
Sebagai sutradara, Nicholas dan Will melakukan pekerjaan luar biasa ketika sanggup mengangkat tensi ke tingkatan lebih tinggi ketika film memasuki pertengahan, yang biasanya, jadi momen saat thriller kehilangan daya cengkeramnya. Peningkatan tersebut bertempat di adegan “konferensi pers”, sewaktu investigasinya banting setir, bergerak ke arah tak terduga yang semakin darurat, semakin genting, semakin menegangkan.
Setiap fase pencarian akan mengungkap fakta baru sedikit demi sedikit, dan di setiap fakta, akan mengarahkan kita menuju ke sebuah kejutan. Setelah skenario suatu situasi berjalan, memang mudah menebak apakah itu faktual atau justru misleading, tapi sobat nonton pasti takkan menduga kebenaran yang sesungguhnya. Setidaknya, tidak secara detail dan menyeluruh.
Pun kebenaran tersebut masih bisa selaras dengan tema utama film ini, bukti jika keberadaannya bukan semata demi faktor “kejutan”. Karena twist terbaik sesungguhnya tidak hanya dinilai dari seberapa mengejutkan. Twist terbaik tidak datang entah dari mana, tapi serupa yang dicontohkan film ini, tertanam di sepanjang film, jika kita cermat dan teliti tentunya.
Dan semakin intens filmnya, semakin bertambah pula tantangan bagi Storm Reid untuk menghadirkan performa meyakinkan mengingat hampir di sepanjang durasi, ia hanya menatap layar komputer maupun telepon genggam. Tapi ia tetap lancar mengolah rasa, menjadikan kita sebagai penonton benar-benar seperti sedang berada di posisinya.
Dan pada akhirnya, Missing bukan hanya film tentang pencarian orang hilang. Missing pada dasarnya adalah sebuah film tentang keluarga. Karena seperti yang kita semua tahu, keluarga adalah benteng terakhir untuk bisa menjaga nilai moral dan nilai luhur manusia di tengah gempuran teknologi informasi dan komunikasi yang sudah sedemikian hebat.