Review Primbon: Film Horor dengan Unsur Drama yang Kuat
Banyak yang bilang bahwa nama sineas beken tanah air Rudi Soedjarwo sudah kehilangan sentuhan emasnya. Yap, beberapa filmografinya yang terakhir boleh dikatakan amat mengecewakan, khususnya saat ia menggarap film-film horor. Namun, lewat film terbarunya yang juga bergenre horor yang berjudul Primbon ini, apakah Rudi akan kembali menemukan sentuhan emasnya?
Primbon mengisahkan dua sahabat bernama Rana (Falvio Zaviera) dan Janu (Chicco Kurniawan) yang sedang melakukan pendakian gunung. Namun, pendakian mereka dilakukan di tengah cuaca yang tidak baik. Hujan lebat pun membuat keduanya tersesat.
Untungnya, Janu berhasil kembali ke rumah dengan selamat. Namun di sisi lain, Rana menghilang dan tidak bisa ditemukan. Setelah seminggu menghilang dan dinyatakan meninggal, Rana ternyata kembali ke rumah saat keluarganya mengadakan tahlilan.
Ibu Rana, Dina (Happy Salma), dan sang ayah, Banyu (Nugie), serta adiknya, Tari (Azela Putri), menyambut kehadiran Rana dengan sukacita. Sayangnya, keluarga besarnya ternyata tidak menyambut Rana dengan baik. Karena menurut primbon, kembalinya Rana yang dianggap sudah meninggal, dinilai janggal. Beragam teror pun mulai bermunculan dan mengincar keluarga besar Rana, termasuk Janu, sahabatnya.
Well, jika dibandingkan dengan film-film horor yang dibuat oleh seorang Rudi Soedjarwo belakangan ini, Primbon memang terasa jauh lebih baik. Rudi seakan benar-benar memikirkan salah satu pondasi terpenting dalam sebuah film, yakni pengembangan cerita. Sedari awal film, para penonton sudah dibuat tidak nyaman oleh sosok Nara yang telah pulang ke rumah. Sang sutradara sengaja menampilkan bahwa dia memang bukan sosok Nara yang asli. Tapi di lain sisi, ada konflik batin antara sang ibu dengan keluarga besarnya yang menganggap bahwa itu benar-benar Nara.
Premis ceritanya pun bisa dibilang fresh, karena menghubungkan kejadian mistis dengan primbon. Sepertinya baru pertama kali film Indonesia bermain-main di ranah ini. Dan cara menyambungkan kedua hal tadi pun masih terasa sangat logis dan relevan di sini.
Tak salah jika dahulu Rudi Soedjarwo pernah dijuluki sebagai Master of Drama, karena drama di film ini amatlah kuat dan rapih, ditambah dengan performa semua cast yang sangat apik dalam memerankan tokoh masing-masing, khususnya Happy Salma yang berhasil menunjukkan karakter seorang ibu yang putus asa karena kehilangan anaknya.
Drama yang terlalu kuat tadi alhasil menjadikan horornya hanya sebagai tempelan semata. Ya, andai saja film ini difokuskan sebagai drama-misteri (alih-alih horor) dengan menguatkan elemen folklore jawa yang lebih legit, pasti hasilnya akan jauh lebih bagus lagi.
Tapi paling tidak, melihat performa Nugie-Happy Salma-Oppie Andaresta-Seroja Hafiedz main di dalam satu frame benar-benar serasa seperti melihat sebuah pertunjukan teater yang mahal.