Review Puisi Cinta yang Membunuh: Horor dengan Cerita yang Solid
Garin bukanlah nama sembarangan di jagat perfilman tanah air. Kehadirannya meramaikan sinema Indonesia sejak medio tahun 1980-an memperkaya ragam film Indonesia dengan karya-karyanya yang memiliki ciri khas tersendiri. Estetik, surreal, penuh cita rasa seni tinggi, unik, aneh dan sulit dipahami adalah beberapa kata yang cukup bisa mendeskripsikan hampir keseluruhan karirnya di dunia film.
Awal tahun ini, Garin kembali merilis karyanya yang lagi-lagi mengandung beberapa hal yang telah disebutkan di atas tadi. Karya tersebut bertajuk Puisi Cinta Yang Membunuh yang didasarkan pada kumpulan puisi cinta karyanya sendiri yang berjudul Adam, Hawa dan Durian, yang telah dirilis pada tahun 1990-an silam.
Puisi Cinta Yang Membunuh berkisah tentang Ranum (Mawar Eva de Jongh) yang selalu terperangkap kata-kata indah dari laki-laki yang kemudian mengkhianatinya, dan berakhir dengan kematian mereka oleh sosok misterius. Walaupun begitu, Ranum tetap memutuskan untuk mencari cinta sejati yang indah dan menghadirkan kebaikan untuk menepis tragedi-tragedi yang pernah dialaminya di masa lalu. Lalu, berhasilkah Ranum meraih cinta sejatinya?
Alasan penulis menyukai banyak karya Garin Nugroho adalah karena keahliannya dalam mengambil suatu gagasan, lalu mengembangkannya menjadi cerita berskala luas tanpa harus kehilangan fokus, dengan ragam simbolisme kecil yang tersebar guna memperkaya kisah juga karakter. Demikian pula dengan film ini, yang merupakan sebuah perayaan akan puisi, yang tak lain adalah sumber keindahan sekaligus kehidupan.
Lewat Puisi Cinta Yang Membunuh, Garin serasa ingin bersenang-senang, membuat film yang dapat menjangkau lebih banyak penonton muda lewat tema percintaan, dicampur horor, serta menjual ketenaran bintang-bintangnya. Tapi Garin tetaplah Garin. Ketika "bergombal ria" pun ciri artistiknya masih tetap menonjol.
Garin juga sengaja menempatkan pop culture sebagai sentral, menunjukkan bagaimana musik, gaya rambut, fashion, sampai budaya pergaulan yang selalu berevolusi. Aspek-aspek di atas bukan sekadar tempelan. Filmnya bagai mengajak sobat nonton untuk bertamasya, dibawa oleh arus waktu yang tak henti berjalan. Segala sisi artistik mulai dari kostum, setting, properti, hingga lantunan musik digarap maksimal, memberi keindahan audio visual warna-warni nan memikat.
Kesan puitis hiperbolis dalam dialognya mungkin berpotensi membuat sobat nonton jengah, dan menganggapnya norak atau berlebihan. Tapi, bukankah seperti itu tingkah muda-mudi saat dimabuk asmara? Lagi-lagi Garin masihlah Garin yang dalam film puitis seperti ini pun menolak untuk bertutur secara ortodoks. Romansa dalam film ini bukanlah "straight love story", tapi lebih berupa visualisasi mood. Tidak aneh bila seluruh kalimat terdengar hiperbolis.
Sayangnya, pertunjukan kisah cintanya mungkin tak sampai membuat beberapa orang tersentuh oleh romantisme yang dihadirkan. Efek dari cara bertutur unik tadi membuat romansanya terkesan jauh. Alurnya memang sebuah pemaparan realita yang tidak realis, jadi walau kita terpikat oleh pertukaran puisi yang dinamis itu, tak ada keterikatan secara rasa.
Namun Anehnya, penulis justru dibuat meneteskan air mata bukan oleh narasi, melainkan dari keindahan Garin dalam mengemas beberapa adegan. Penggunaan musik elektro atau dansa penuh energi berpadu menciptakan keindahan yang mengharukan. Rasanya mirip jatuh cinta itu sendiri. Datang tiba-tiba tanpa alasan yang pasti, namun serta merta menyeruak tanpa bisa dibendung.
Aplikasi unsur teatrikal pastinya tetap kental seperti karya-karya Garin pada umumnya. Meski kuantitas long shot dengan kamera statis agak berkurang, adegan layaknya pertunjukan panggung masih bertebaran di sepanjang film. Dialog puitis penuh metafora pun cukup identik dengan tipikal naskah pertunjukan teater.
Kentalnya nuansa teatrikal memaksa para aktor untuk berakting layaknya di atas panggung. Mereka harus melakukan banyak gerak besar juga ekspresi lantang. Untuk sebagian orang, mungkin akan terganggu dengan cara pelafalan para aktor yang terlalu scripted, meski harus diakui rentetan dialog film ini punya tingkat kesulitan lebih. Tapi aktor-aktor dalam film ini membuktikan ia mampu melakukannya. Terdapat energi meluap untuk memunculkan sisi dinamis saat mereka bergerak penuh semangat di dalam frame.
Ya, dibandingkan rentetan film sang sutradara sebelumnya, ini memang tergolong salah satu yang paling mudah dicerna karena tak banyak berkelebatan simbol-simbol memusingkan yang membutuhkan penafsiran lebih lanjut. Tetapi, tentu saja sobat nonton sedikit banyak harus membiasakan diri dengan cara Garin Nugroho dalam berkisah untuk benar-benar bisa merasuk ke filmnya itu sendiri.