Review Saw X: Sadis dan Penuh Teka-Teki
Sebelum memulai review ini, ijinkan penulis untuk kembali mengingatkan bahwa “Saw franchise is all about shock value!”. Tempat penonton berharap dikejutkan oleh perangkap mematikan penghasil gore berlimpah serta twist nihil logika. Dengan kata lain, waralaba ini merupakan media escapism yang sempurna. Ada formula paten yang terbukti ampuh untuk selalu menarik para penggemarnya, tapi tetap timbul pula kesadaran untuk memberi modifikasi guna menghembuskan angin segar.
Di edisi yang kesepuluh ini, atau yang diberi judul Saw X, dipanggillah Kevin Greutert untuk kembali menakhkodai waralaba tersebut, setelah sebelumnya ia dipercaya untuk menyutradarai dua judul film Saw, yakni Saw VI dan Saw 3D. Lantas, berhasilkah Kevin mengulangi kesuksesan dua film tersebut?
Film Saw X ini disebut-sebut menjadi sekuel langsung dari Saw edisi pertama yang dirilis pada tahun 2004 silam, dan sekaligus prekuel dari Saw II (2005). Saw X akan mengisahkan John Kremer (Tobin Bell) yang menderita sakit kanker. Di tengah keputusasaannya, dia akhirnya melakukan perjalanan ke Meksiko untuk menjalani sebuah prosedur medis yang beresiko dan eksperimental. Hal itu dilakukannya dengan harapan bisa mendapatkan obat mujarab untuk penyakit kankernya tersebut.
Tapi, tanpa disangka, rangkaian tindakan medis itu hanyalah penipuan dan malpraktik belaka yang dilakukan oleh para tenaga medis bodong. Seluruh praktik operasi itu hanyalah modus untuk menipu kelompok-kelompok yang rentan. Dengan alasan itu, akhirnya Kremer kembali ke pekerjaannya sebagai pembunuh berantai. Dia merasa para penjahat di meja operasi itu harus dihukum. Kremer membalikkan keadaan dan membalaskan dendamnya kepada para penipu itu dengan cara khasnya, yakni serangkaian jebakan licik dan mengerikan ala Jigsaw.
Tidak ada yang istimewa dalam presentasi pengisahan Saw X. Mereka yang pernah menikmati atau bahkan penggemar dari seri film ini jelas telah familiar dengan pola pengisahan yang kembali dituruti dengan patuh oleh Pete Goldfinger dan Josh Stolberg selaku penulis skenario. Kekuatan film ini muncul dari keberhasilan Kevin Greutert dalam menata pengisahan tersebut untuk tidak terjebak dalam atmosfer pengisahan yang monoton, seperti yang dapat dirasakan pada beberapa seri akhir Saw. Berkat bantuan penataan gambar dari Greutert, teka-teki yang coba disajikan film ini mampu dieksekusi dengan baik.
Greutert terbukti mampu mengalirkan pengisahan secara perlahan, memberikan petunjuk demi petunjuk yang akhirnya mampu meningkatkan intensitas ketegangan cerita di banyak bagian. Sebuah kualitas pengarahan yang cukup memuaskan, khususnya jika mengingat bahwa dirinya harus mengeksekusi sebuah formula penceritaan yang cenderung terasa usang.
Sekedar ingin mengingatkan, bahwa sejak film kedua, waralaba Saw memang beralih dari horor psikologis brutal menjadi murni suguhan penyiksaan. Walau demikian, konflik batin selalu mengiringi kondisi dilematis tatkala korban dipaksa berkorban demi bertahan hidup. Situasi itu menggiring ketegangan penonton yang didorong berandai-andai "apa yang aku lakukan jika mengalami hal serupa?".
Nah, sayangnya Saw X terlihat melucuti kekuatan tadi, di mana beberapa permainan, khususnya di awal-awal durasi tak menuntut pengorbanan serupa, atau gagal membawa penonton memahami harga yang harus dibayar akibat eksekusi yang buru-buru. Ujian penuh tipu daya khas Jigsaw baru benar-benar terasa ketika sosok iblis dalam diri John Kramer menampakkan diri, yang turut menegaskan Tobin Bell masih memiliki aura magis sebagai tokoh sentral di waralaba ini.
Yap, kekuatan utama film ini jelas ada pada kesadisan dan teka-teki yang ada di beragam perangkapnya. Walaupun bagi penulis sendiri, teka-teki yang ada jelas terasa dangkal namun dipaksakan untuk terlihat cerdas. Untung saja, adegan gore yang ada cukup sukses menghibur. Bagaimana darah dan hamburan bagian tubuh yang ada sanggup memberikan kesan sadis yang menghibur untuk para penggila film sejenis. Sobat nonton dijamin akan terhibur dengan kesadisan yang ada. Namun perlu diingat, jangan membawa anak di bawah umur untuk menonton film ini.
Dari segi cerita, film ini sebenarnya memiliki potensi untuk setingkat lebih bagus dari film-film Saw sebelumnya. Di mana pesan moral untuk lebih memaknai hidup ditampilkan pada level yang lebih tinggi lagi. Tapi itu semua sayangnya terasa sia-sia. Ketidakberhasilan dalam merangkum hal-hal di atas tadi dengan baik membuat SAW X kurang tampil maksimal. Padahal jika hal-hal tadi bisa lebih dimaksimalkan, penulis berani mengatakan bahwa film ini berpotensi untuk menjadi yang terbaik dari rangkaian waralaba Saw sejauh ini.
Sebagai sebuah kelanjutan, pada akhirnya Saw X tidak berubah banyak selain dari gaya penyajiannya. Meskipun begitu, Saw X juga merupakan sajian yang lebih baik daripada kebanyakan sekuel Saw lainnya. Film ini berada di level di mana para penggemar beratnya tidak akan keberatan untuk menyukai, walaupun filmnya tidak luput dari beberapa kelemahan. Karena, kapan lagi kita dapat melihat karakter John Kramer digambarkan sebagai sosok protagonis seperti dalam film ini?