Review Spider-Man: Across the Spider-Verse: Salah Satu Adaptasi Kisah Spider-Man Terbaik
Sekuel Spider-Man: Into the Spider-Verse berjudul Spider-Man: Across the Spider-Verse telah tayang di bioskop seluruh Indonesia. Berkisah tentang perjalanan Miles Morales (Shameik Moore) yang usai berjumpa lagi dengan Gwen Stacy, Spider-Man si tetangga yang ramah asal Brooklyn ini terlontar melintasi Multiverse yang membawanya pada Spider Society, kelompok pahlawan manusia laba-laba yang bertugas melindungi kelangsungan Multiverse.
Tapi, saat para pahlawan ini berselisih tentang cara melawan sebuah ancaman besar, Miles pun harus beradu dengan para manusia laba-laba yang lain dan menetapkan langkahnya sendiri demi menyelamatkan orang-orang yang ia cintai. Siapa pun bisa memakai topeng itunamun seorang pahlawan adalah ia yang tahu benar cara memakainya.
Seperti angsuran pertamanya, alasan utama yang membuat Spider-Man: Across the Spider-Verse sukses menjadi salah satu adaptasi kisah Spider-Man terbaik adalah lantaran memiliki pendekatan yang baru. Sekuel ini juga mencoba jujur dalam menghadirkan kisah Spider-Man yang komikal dengan memasukkan berbagai unsur ikoniknya.
Konsep multi semesta memang bukan hal baru di dunia komik superhero. Baik DC maupun Marvel memang memiliki konsep ini untuk mendukung berbagai versi alternatif dari kisah-kisah superhero mereka. Sehingga mereka tetap bisa berkreasi tanpa mencederai lini masa kisah utamanya. Hanya saja, konsep seperti ini memang cenderung sulit diaplikasikan ke dalam sebuah film karena berpotensi menimbulkan kebingungan, khususnya di kalangan penonton awam.
Tapi, trio sutradara Joaquim Dos Santos, Kemp Powers, dan Justin K. Thompson dengan cerdas sukses meramu kisah multi semesta yang cukup rumit menjadi sebuah narasi yang mudah dicerna dan menyenangkan. Gaya penceritaan khas komik membuat siapapun yang menonton film ini akan mudah mengerti dan bisa menerima konsep Spider-Man lintas semesta, meskipun belum pernah membaca komiknya sebelumnya.
Selain itu, jenis animasi yang digunakan juga layak diacungi jempol. Sekuel ini menggunakan pendekatan animasi yang cukup segar yakni dengan menggabungkan CGI modern dengan sentuhan grafis lawas khas komik. Animasi di film ini bagaikan visualisasi hidup lembar demi lembar halaman buku komik.
Bahkan, di beberapa adegan, meski tampilannya tidak seeksplisit seperti di film pertamanya, turut disertai pula bubble text layaknya buku-buku komik. Hal-hal komikal yang ditampilkan tersebut makin menambah kesan unik dan mengundang decak kagum.
Sisi komikal di film ini memang menjadi poin penting yang disampaikan dengan jujur tanpa harus mengorbankan kisahnya agar nampak membumi ataupun relevan dengan kondisi dunia nyata saat ini. Terkadang, film superhero memang tidak perlu dibuat terlalu membumi agar esensi superhero komik yang tidak masuk akal dan melawan hukum alam tetap terjaga kelestariannya.
Adapun kekurangan sekuel ini terletak pada klimaksnya yang dibuat menggantung untuk angsuran selanjutnya, sehingga membuat mood para penonton yang sudah terbangun apik sejak awal menjadi sedikit drop. Meski begitu, sobat nonton hanya perlu menunggu hingga tahun depan untuk menyaksikan bagian keduanya yang diberi judul Spider-Man: Beyond the Spider-Verse.
Meski tahun 2023 baru berjalan selama lima bulan, tampaknya tidak berlebihan untuk menyebut Spider-Man: Across the Spider-Verse menjadi salah satu film animasi terbaik tahun ini. Sekuel itu seperti menghadirkan kembali pengalaman menyenangkan menonton film superhero yang memang sudah jarang kita rasakan akhir-akhir ini, terutama dalam menghadirkan unsur kesenangan di dalamnya.