Review Miller's Girl: Visualnya Oke, Tapi...
Bagaimanapun, membuat film erotis yang baik itu, harus diakui, susah. Dalam tema dan genre eroticism cuma ada dua kemungkinan. Pertama, besutan yang membalut sinematografi dan adegan-adegan seksnya dengan artistik akan jadi tontonan berkelas, seperti halnya nama-nama sineas Zalman King, Adrian Lyne atau sineas-sineas European arthouse. Yang kedua, akan berakhir di film-film kelas C-nya Shannon Tweed, Gabriella Hall atau Shauna O’Brien.
Kini, sineas Jade Halley Bartlett coba kembali merumuskan ulang genre erotis di atas dalam film terbarunya yang berjudul Miller’s Girl. Film ini akan mengikuti kisah gadis berusia 18 tahun bernama Cairo Sweet (Jenna Ortega). Cairo tinggal seorang sendiri di sebuah rumah mewah di tengah hutan, lantaran orang tuanya bekerja di luar negeri. Ia juga merupakan siswa dari kelas menulis yang dibimbing oleh Jonathan Miller (Martin Freeman).
Konflik mulai berkembang setelah Miller menunjukkan ketertarikan atas kemampuan menulis Cairo. Tanpa diduga, hubungan mereka justru berkembang menjadi lebih rumit dan meresahkan. Ironisnya, Cairo sebagai remaja yang masih labil, nekat menyerahkan tugas yang memuat tentang hubungan kontroversial mereka. Lantas, bagaimanakah hubungan mereka berdua selanjutnya?
Well, kesalahan yang dari zaman dahulu kala tak terbenahi dalam film-film di genre ini sebenarnya paling besar terletak pada skenario. Oke, despite of some writers yang benar-benar born-writers, faktor inilah yang selalu meluluhlantakkan semuanya. Film-film klasik, semuanya tampil dengan penceritaan yang runtut meski temanya itu ke itu saja.
Lalu, film-film sekarang? Penulis tak meng-include segelintir yang bagus, tapi rata-rata secara keseluruhan? Meski faktor bahasanya pelan-pelan sudah semakin wajar, kesalahan atas guliran bercerita yang melompat-lompat itu masih saja dialiri konflik klise yang ditimpali dengan reaksi-reaksi over tanpa meninggalkan faktor make sense tadi.
Dan para penulis-penulis skenario ini agaknya harus sadar betul, meniru, atau terinspirasi, itu sah-sah saja, tapi ada cara yang benar. Sayangnya, di film Miller’s Girl ini, sang sineas rupanya coba menggelar pembaharuan sex scene dengan sensualitas berbeda yang nyata-nyata jadi kombinasi beberapa film erotis terkenal Adrian Lyne, seperti Unfaithful dan Fatal Attraction, ditambah resep comot-mencomot dari pakem film thriller erotis lainnya.
Sayangnya, formula di atas tadi menjadi overloaded. Meski sebagian bisa jadi terasa relevan, tapi kebanyakan adalah lagi-lagi mengulang dan mengulang. Pesan moral “love forgives”-nya pun tak bisa berperan banyak akibat kerusakan skenario seperti film-film yang menjadi sumbernya.
Pada akhirnya, kelewat kejam mungkin kalau harus menyamakan Miller’s Girl dengan film-film erotis sampah di era 90an, karena jujur saja, visual yang dihadirkan di sini masih bisa memberikan feel yang berbeda dengan sensualisme yang sangat stylish. Namun sisanya? Forgettable.