Review Uang Panai 2: Komedinya Juara!
Dalam adat budaya suku Bugis Makassar, ada istilah yang dinamakan uang panai. Uang panai sendiri selama ini dikenal sebagai salah satu syarat dalam hal melamar calon pujaan hati. Tapi sejatinya, uang panai adalah sebuah bentuk penghargaan kepada calon mempelai wanita itu sendiri. Namun, seiring waktu berjalan ,istilah uang panai saat ini justru menjadi sebuah momok yang menakutkan bagi para laki-laki yang hendak melamar pujaan hatinya.
Fenomena di atas yang coba kembali diangkat oleh sutradara Ihdar Nur dalam film Uang Panai 2. Sesuai judulnya, Uang Panai 2 merupakan kelanjutan dari film pertamanya, di mana saat ini karakter bernama Tumming dan Abu serta Ancha (Ikram Noer) telah membuka jasa konsultan uang panai setelah berhasil membantu Ancha dan Risna (Nurfadillah) bersatu di film pertamanya.
Lantas hadirlah seseorang bernama Iccang (Rendi Yusa Ali) yang merupakan klien pertama mereka. Iccang tengah berusaha mengumpulkan uang panai agar dapat melamar sang kekasih yang bernama Icha (Dini Arishandy). Namun, Iccang menyadari bahwa dia harus menghadapi tantangan lain untuk membuat sang pacar menjadi istrinya.
Uang panai yang harus dipenuhi oleh Iccang untuk mempersunting sang kekasih bukanlah satu-satunya tantangan yang harus dilalui oleh sang karakter. Tumming dan Abu pun berusaha keras mencari berbagai cara agar sang klien dapat membuat sang pacar menjadi istri. Berhasilkah mereka?
Seperti film pertamanya, Uang Panai 2 kembali dikemas dengan nuansa drama-romansa-komedi. Bergerak dengan alur yang lurus dan simple, tidak ada yang istimewa dari sisi cerita. Bahkan konflik yang diciptakan film ini terlalu berlebihan dengan kesan rumit yang tiada henti.
Akibatnya, fokus cerita bergeser menjadi tidak jelas dari judulnya. Kekuatan akting yang tak spesial, membuat kekuatan cerita menjadi terlihat tumpul. Begitupun dari segi visual, transisi step-by-stepnya masih terasa terlalu cepat.
Namun, tak bisa disangkal bahwa kadar komedi dari Uang Panai 2 sangatlah efektif mengocok perut para penontonnya, termasuk penulis. Komedi gaya Makassar berhasil dibawakan dengan sangat baik oleh Tumming dan Abu melalui tingkah konyol dan bahasa khas Makassar. Absurd namun cerdas dan tepat sasaran.
Secara umum, film ini juga mampu membuka pikiran kita yang terbelenggu oleh adat istiadat, serta mencoba memaknai ulang istilah uang panai dalam pandangan agama dan tradisi. Ironis memang, tapi kita mungkin tidak akan mampu menghilangkan adat yang telah mendarah daging cukup kental ini.
Dan lagi-lagi, kita harus kembali memberi kredit lebih kepada sineas-sineas Makassar yang melahirkan karya dengan gaya penceritaan yang relatable sehingga membuat orang-orang khususnya penonton Makassar tertarik dan merasa bertanggung jawab untuk menonton dan mendukung film ini.