Loading your location

Review We Live in Time: Tontonan Minimalis yang Memikat

By Ekowi23 November 2024

Bagaimana strategi paling klise untuk membuat sebuah film tearjerker? Tentu saja dengan membuat karakter utamanya sakit parah bahkan sekarat, lalu tempatkan orang yang ia sayangi entah itu pacar atau keluarga di sekitarnya. Kisah "cengeng" seperti itu memang sudah terlalu banyak dieksploitasi khususnya oleh perfilman Hollywood.

Dengan formula yang itu-itu saja serta plot yang sudah bisa ditebak akan berjalan seperti apa dari awal sampai akhir, yang dipedulikan oleh film semacam itu tentu saja adalah bagaimana membuat penontonnya meneteskan air mata sebanyak mungkin. Tapi toh seburuk apapun film dengan cerita semacam itu akan menjadi guilty pleasure jika sanggup membuat penonton menangis sejadi-jadinya.

Tapi, bukan berarti semua film yang mengangkat tema di atas tadi terasa klise, karena ada segelintir film yang mengambil pendekatan berbeda. Salah satu yang paling baru adalah sebuah film yang berjudul We Live in Time yang bercerita tentang seorang Pegawai IT di sebuah perusahaan sereal bernama Tobias (Andrew Garfield). Tobias sedang menghadapi krisis dalam percintaan setelah ia diceraikan oleh istrinya yang memilih mengejar kariernya di Swedia dan mengabaikan mimpi mereka berdua.

Saat momen akan menandatangani surat cerai, ternyata pulpen milik Tobias macet dan membuatnya keluar kamar hotel karena harus membeli pulpen baru. Di perjalanan kembali, ia justru malah ditabrak oleh mobil yang dikemudikan oleh Almut (Florence Pugh) yang kemudian membawanya ke rumah sakit.

Keduanya pun berkenalan dan mulai menyimpan rasa suka hingga akhirnya tumbuh menjadi benih cinta. Namun nasib tak berpihak lagi pada Tobias, Almut ternyata ogah punya anak dan berkeluarga seperti yang dimimpikan olehnya. Tobias pun melunak dan merelakan mimpinya demi bisa menikmati hidup bersama Almut.

Seiring berjalanannya waktu, Almut mulai tersentuh dan berpikir untuk menjadi seorang ibu. Namun, kisah cinta mereka kembali harus diuji di mana ia justru didiagnosa mengidap kanker ovarium stadium 3.

Dari sinopsis di atas, mungkin banyak dari sobat nonton yang mengambil kesimpulan bahwa film ini murni menawarkan sebuah keharuan. Tapi, percayalah, We Live in Time sama sekali tidak menjual hal-hal cengeng. Alih-alih memberikan momen-momen dramatis dengan scoring menyayat, film ini justru bertutur dengan lebih sederhana, tapi di sisi lain malah justru lebih mendalam pada eksplorasinya mengenai berbagai aspek kehidupan.

Kita semua tahu, banyak film tearjerker tidak terlalu mempedulikan kualitas naskah serta plot dari awal hingga pertengahan film. Semuanya hanyalah sebuah set-up atau pengisi durasi sebelum sampai pada momen puncak di akhir yang akan dieksploitasi habis-habisan agar para penonton menangis sejadi-jadinya.

We Live in Time justru sebaliknya, di mana film ini lebih banyak berfokus pada proses yang terjadi daripada hasil akhir yang menimpa karakternya. Fokus utamanya adalah memperlihatkan bagaimana mereka yang seolah tinggal menunggu hari kematiannya masih tetap terus menjalani hidup sebaik mungkin dan tidak hanya meratapi nasib tragis yang mereka alami.

Dari situ, We Live in Time justru menyimpan banyak harapan dan ketegaran. Dan film ini menjadi satu lagi bukti bahwa untuk menciptakan sebuah drama yang berkesan dan menyentuh tidaklah harus memberikan sentuhan dramatis berlebihan di sana-sini. Cukup lakukan dengan sederhana namun maksimal, serta bumbui sedikit "kejutan", maka jadilah suatu tontonan minimalis yang memikat.

Sobat nonton, jangan lupa bagikan tulisan ini ya!

NOW PLAYING

Red One
DEVILS STAY
Puang bos
Melukis Harapan di Langit India

COMING SOON

Mengejar Restu
Darah Nyai
Love Live! Nijigasaki High School Idol Club The Movie - Finale - Chapter 1
Paddington in Peru