Loading your location

Review 1 Imam 2 Makmum: Penuh Pesan Bermakna, namun Tidak Menggurui

By Ekowi17 Januari 2025

Setelah beradu adu akting dalam film Bila Esok Ibu Tiada yang dirilis beberapa bulan lalu, kini Fedi Nuril dan Amanda Manopo kembali hadir dalam sebuah film layar lebar berjudul 1 Imam 2 Makmum yang disutradarai oleh Key Mangunsong, sosok yang juga bertanggung jawab atas kesuksesan film Air Mata di Ujung Sajadah yang menjadi salah satu film terlaris di tahun 2023 silam.

Film 1 Imam 2 Makmum sendiri akan mengisahkan tentang perjalanan pernikahan Anika (Amanda Manopo) dan Arman (Fedi Nuril), seorang duda yang masih menyimpan rasa cintanya untuk almarhum istrinya, Leila (Revalina S. Temat) yang telah meninggal 4 tahun lalu.

Anika memiliki harapan besar ketika memilih menikah dengan Arman. Namun, ia dihadapkan dengan berbagai kekecewaan. Permasalahan yang dihadapi Anika mulai terlihat saat mereka pisah ranjang dan Arman yang enggan menjadi imam saat salat.

Anika semakin tak berdaya ketika ia menemukan kamar Arman masih dipenuhi kenangan mendiang istrinya. Diketahui, Arman ternyata masih menyimpan rasa dan kenang-kenangan bersama mendiang istrinya, Leila.
Lantas, apakah Arman mampu membagi cintanya secara adil untuk Anika?

Harus diakui, penulisan skenario film ini cukup berhasil digarap dengan rapi dan matang. Ide plot yang familiar juga tak membuat film ini menjadi membosankan atau "pasaran". Di sisi lain, muatan pesan yang diangkat 1 Imam 2 Makmum juga terbilang mumpuni. Pembuat film ini sanggup memberikan ruang yang seimbang bagi sebagian besar karakter, serta tidak ada kesan menggurui di baliknya.

Resolusi dari masalah yang dihadapi oleh para karakter utamanya juga amat dewasa dan tidak menimbulkan banyak perdebatan. Kemasan tadi nyatanya mampu menjadi senjata yang begitu ampuh karena bisa memikat penonton, terutama bagi para penonton wanita yang merasa mudah relevan dengan cerita yang terkandung dalam film ini.

Namun, masih ada beberapa catatan maupun kesan kurang memuaskan yang penulis rasakan saat menonton film ini. Penulis merasa masih kurang nyaman dengan alunan scoring musik yang tak henti-hentinya diputar di sepanjang cerita. Scoring dengan sentuhan orkestra tadi coba mengisi di hampir seluruh bagian cerita, terutama ketika adegan dramatis yang menguras emosi.

Penulis sampai mengira bahwa kebutuhan scoring yang ekstra ini ibarat jumpscare dalam sebuah film horor. Bedanya, jumpscare akan menghasilkan rasa kaget, sementara scoring mendayu-dayu dalam film ini dipaksa untuk melahirkan tangisan air mata dari para penonton.

Ratih Kumala selaku penulis naskah dari film ini juga seolah terlalu berambisi dalam menggarap dialog yang bergelimang kata-kata mutiara. Sebagian besar kalimat dalam dialog film ini dikemas ala kutipan yang biasa ditemukan di mesin-mesin pencarian seperti google. Menyelipkan kalimat dengan makna yang mendalam agar mudah dikenang sesungguhnya suatu hal lazim. Namun, pendekatan semacam itu justru menjadi hilang esensinya jika diterapkan di banyak dialog.

Meski demikian, catatan-catatan tadi rasanya hanya terkait perbedaan selera saja. Beberapa orang mungkin justru senang dengan eksekusi semacam itu. Dramatisasi yang ditawarkan film ini kemungkinan besar tetap akan menguras emosi bagi beberapa penonton karena ceritanya yang bersumber dari kehidupan sehari-hari sehingga banyak dari mereka yang akan merasa relate dengan film ini.

Sobat nonton, jangan lupa bagikan tulisan ini ya!

NOW PLAYING

HYPERFOCUS : TOMORROW X TOGETHER VR CONCERT
1 Imam 2 Makmum
Dirty Angels
Hello, Love, Again

COMING SOON

Penggali Kubur
Jadi Tuh Barang
Thunderbolts
The Amateur