Review Agak Laen 2: Menyala Pantiku!: Sajikan Formula Komedi Verbal dan Slapstick dengan Baik
Film Agak Laen yang dirilis pada tahun 2024 silam memang “agak lain” dibanding film komedi lokal yang pernah kita lihat sedekade terakhir. Di tengah film komedi lokal dengan jenaka yang maksa, Agak Laen datang dengan lelucon skala amat keseharian.
Dan kini, sambutlah film keduanya yang berjudul Agak Laen 2: Menyala Pantiku!. Mengusung cerita baru yang berdiri sendiri, Agak Laen 2: Menyala Pantiku! akan kembali mengikuti petualangan empat sekawan: Boris (Boris Bokir), Bene (Bene Dion), Oki (Oki Rengga), dan Jegel (Indra Jegel) yang nekat menjadi detektif ala kadarnya.
Kali ini, mereka akan menghadapi misi yang jauh lebih berat dari sebelumnya. Pemerintah daerah mempercayakan mereka sebuah tugas sensitif: mencari dan menangkap buronan pelaku pembunuhan anak wali kota. Misi tersebut menuntut keempatnya melakukan penyamaran dan menyusup ke sebuah panti jompo yang dipenuhi misteri.
Buronan tadi diyakini bersembunyi di antara para lansia, sehingga mereka harus menikmati suasana panti sekaligus meningkatkan kewaspadaan. Setiap gerakan kecil para penghuni bisa menjadi petunjuk penting, atau justru memantik kekacauan baru yang membuat penyamaran hampir gagal. Lantas, mampukah Bene, Boris, Jegel, dan Oki mengungkap identitas buronan tersebut?
Kita semua patut angkat topi untuk Muhadkly Acho yang menggarap dan menulis Agak Laen 2: Menyala Pantiku! dengan sangat matang, rapi, keep it simple and to the point. Hal ini memudahkan sobat nonton untuk langsung terhubung dengan alur cerita. Lewat film ini, Acho lagi-lagi berhasil menggambarkan dengan baik bagaimana Indonesia adalah negara yang sangat plural dan beragam, dengan masyarakat yang memang terbiasa akan keberagaman tersebut.
Memang masih ada beberapa sindiran halus soal identitas tertentu, tapi semua itu terasa tidak melewati batas. Acho menunjukkan dengan jelas, bagaimana identitas yang sensitif sebenarnya bisa dibawakan dengan santai tanpa harus pakai urat. Cara Acho dalam menulis skrip film ini sebenarnya bukan barang baru. Trio legendaris Warkop DKI adalah salah satu pelaku hiburan modern yang menggunakan cara ini, sementara untuk versi tradisional ada kelompok Srimulat. Dan mereka sukses di pasaran.
Meski begitu, cara mengemas komedi keseharian dan diangkat ke layar lebar bukan perkara mudah. Ada banyak sineas dan komedian sebelumnya yang menggunakan formula serupa, tapi sedikit yang bisa menuai kesuksesan apalagi menjaganya. Nah, Muhadkly Acho adalah salah satu di antara orang yang sedikit itu. Namun tentu saja, cerita Acho tak akan bisa terejawantahkan dalam gambar bergerak bila tidak ada kuartet Boris Bokis, Indra Jegel, Bene Dion, dan Oki Rengga.
Muhadkly Acho juga lulus dalam memformulasikan komedi verbal dan slapstick dengan baik. Formula ini jelas sangat tricky dan peramunya mesti jeli dalam menentukan penggunaannya. Komedi slapstick memang mudah membuat tawa terutama untuk masyarakat awam, tapi rentan membuat sebuah karya menjadi kehilangan esensi. Akan tetapi, tayangan komedi verbal dengan materi ala stand-up juga memiliki jangkauan penonton yang terbatas.
Tapi lagi-lagi, chemistry kuartet Agak Laen dengan sigap mampu membantu Acho dalam membawakan komedi slapstick tersebut lewat mimik, akting, tingkah laku, hingga koneksi di antara mereka. Hal ini persis seperti yang dilakukan trio Warkop DKI dalam film-film legendaris mereka dulu.
Akhir kata, penulis amat berharap bahwa film seberkualitas Agak Laen 2: Menyala Pantiku! ini tidak hanya berhenti kali ini saja atau baru akan muncul lagi sedekade kemudian. Selain itu, Acho jelas juga akan diberikan ekspektasi tersendiri dari penonton usai film ini dirilis. Tinggal bagaimana ia akan menjaga capaian pasca Agak Laen 2 ini di masa depan.








