Review Angkara Murka: Bukan Film Horor Biasa
Setelah dikenal dengan karya-karya film pendeknya yang mendapat banyak perhatian di festival film internasional, seperti Happy Family, Bura, dan The Intrusion, kini sutradara Eden Junjung dipercaya untuk mengeksekusi film debut panjangnya yang berjudul Angkara Murka.
Film Angkara Murka sendiri mengambil latar belakang sebuah tambang pasir, dan akan mengikuti perjuangan Ambar (Raihaanun) untuk mencari suaminya, Jarot (Aksara Dena), yang menghilang secara misterius di tempat kerjanya. Ambar, yang tak ingin tinggal diam, memutuskan untuk pergi ke lokasi tambang demi mencari jawaban.
Di sana, ia bertemu dengan Raden Broto (Whani Darmawan), pemilik tambang yang dikenal sebagai sosok kejam dan korup. Raden sendiri terlibat dalam eksploitasi alam dan para pekerjanya dengan cara memberi upah yang tidak layak. Ambar semakin terperangah ketika mengetahui bahwa hilangnya Jarot bukan hanya akibat kecelakaan kerja biasa.
Dukungan lalu datang dari Lukman (Simhala Avadana), seorang pekerja tambang yang diam-diam menentang kekuasaan Raden. Bersama-sama, mereka menyelidiki dugaan praktik mistis yang dilakukan untuk menjaga kelangsungan tambang tersebut. Ketegangan semakin memuncak tatkala Ambar harus memilih antara menyelamatkan anaknya atau mengungkap kebenaran yang menyelimuti desa dan tambang tersebut.
Secara tematik, film ini ternyata mengambil sudut pandang yang mirip dengan film berjudul Tebusan Dosa karya Yosep Anggi Noen, sebuah horor yang menjadi kamuflase kritik sosial politik yang menyerap elemen-elemen kedaerahan yang cukup detail. Angkara Murka menjadi debut Eden Junjung yang cukup menarik dan memberikan kesan kuat, seperti apa dirinya menjadi seorang pembuat film.
Angkara Murka menggunakan 90 menit durasinya dengan sangat baik. Film ini bukan hanya menjadi sebuah sajian horor yang kental akan kedaerahan, melainkan menjadi alat oleh sang sutradara untuk mengkritik sistem sosial, distribusi kekuasaan di masyarakat, dan menunjukkan ketidakseimbangan antara manusia dan lingkungan dalam melakukan simbiosis mutualisme.
Kesadaran kelas sosial menjadi aspek paling utama dan membuat horor di film ini menjadi kompleks, sekaligus menjadi pengingat bahwa ada yang lebih menyeramkan daripada dedemit di muka bumi ini. Bagaimana miniatur politik diciptakan di antara kelas pekerja tambang, di mana di dalamnya juga terdapat kepentingan politik, serta proses kamuflase yang melahirkan tekanan individual.
Para aktornya pun berhasil membuat kita semua berempati dengan karakter yang dimainkannya. Khususnya karakter Ambar yang bukan hanya sebagai sosok istri dan ibu yang kehilangan suami, tapi dia juga merupakan simbol perlawanan di tengah penindasan, kekejaman, dan ketamakan manusia.
Pada akhirnya, Angkara Murka bukan hanya sebuah film horor, melainkan juga sebuah sketsa keseharian para penambang yang hidupnya sangat berat dari hari ke hari dengan upah yang tidak seberapa. Film ini juga menggambarkan betapa serakahnya manusia akan kekuasaan yang mereka dapatkan dari pengorbanan yang orang lain lakukan. Seperti yang digambarkan di filmnya, semua itu akan berakhir dengan pemberontakan dari para penambang yang merasa tertindas oleh perilaku manusia-manusia serakah tersebut.