Review The Long Walk: Bikin Merinding Memikirkan Kematian
Siapa yang tak kenal dengan Stephen King? Karena sudah banyak dari karyanya yang diadaptasi menjadi sebuah film. Stephen King memang telah terkenal dengan novel-novel horornya. Walaupun begitu, ternyata ia juga memiliki novel yang bergenre di luar horor, yakni distopia.
The Long Walk sendiri adalah salah satu hasil karya tulis Stephen King yang kini diterjemahkan ke layar perak dengan judul yang sama. Filmnya masih akan coba membawa elemen distopia serta drama psikologis dengan nuansa yang kelam dan penuh tekanan di dalamnya. Disutradarai oleh Francis Lawrence, film The Long Walk berlatar di Amerika Serikat yang sedang dipimpin oleh rezim totaliter.
Di tengah kondisi distopia tadi, ada kompetisi tahunan bernama The Long Walk. The Long Walk sendiri merupakan sebuah kompetisi di mana seratus remaja laki-laki harus berjalan tanpa henti dengan kecepatan minimal tiga mil (4,8 km) per jam.
Jika melambat atau berhenti, maka para peserta akan mendapat peringatan. Setelah tiga peringatan, mereka akan dieksekusi mati. Orang terakhir yang berhasil bertahan hidup dari kompetisi ini akan mendapatkan hadiah berupa apapun yang diinginkannya seumur hidup.
Bisa dibilang, Stephen King benar-benar seorang jenius, karena ia pintar mengolah ide sesederhana jalan kaki menjadi karya seapik ini. Dari sekadar jalan kaki, namun bisa menjadi sebuah cerita yang membuat kita merinding memikirkan kematian. Premis tersebut juga berhasil dieksekusi dengan baik oleh Francis Lawrence selaku sutradara film ini.
The Long Walk rupanya tidak hanya menyajikan cerita jalan kaki yang ekstrem semata. Di sini juga diceritakan bagaimana pandangan sang karakter utama yang bernama Raymond Garraty (Cooper Hoffman) terhadap sesama peserta lomba lainnya. Ada yang menjadi sahabatnya seperti Peter McVries (David Jonsson), yang dalam beberapa adegan diceritakan bahwa mereka saling menyelamatkan. Dan Ada juga yang malah menjadi sosok-sosok menjengkelkan bagi Ray.
Penggambaran beberapa karakternya juga cukup mendalam dan konsisten. Contohnya bisa terlihat dari cara-cara sang sutradara dalam menyajikan cerita berdasarkan sudut pandang pemikiran Ray Garraty. Perpindahan latar belakang dan alurnya juga cukup jelas dan detail.
Selain itu, Francis Lawrence juga sangat mahir dalam memvisualkan keadaan para peserta sebelum menjemput kematian mereka, seperti ada yang tiba-tiba meracau, berbuat onar, serta depresi akibat saking kelelahannya. Semua ditunjukkan secara detail sehingga sobat nonton dijamin akan turut merasakannya ketika menonton.
Meskipun creepy, namun film ini juga mengandung dialog-dialog yang menggugah sekaligus ironis. Lihatlah bagaimana para warga Amerika Serikat digambarkan sebagai masyarakat yang begitu menikmati perlombaan mengerikan ini. Mereka mengelu-elukan para pesertanya, membuatkan poster-poster untuk menyemangati mereka, selayaknya para pahlawan. Seolah-olah mereka begitu obsesif terhadap sesuatu yang bernama kematian.
Overall, The Long Walk patut untuk ditonton sebagai motivasi untuk terus berusaha sampai batas akhir. Meskipun penulis tidak menyarankan menonton film ini sambil menikmati sajian kudapan berat, karena ada beberapa bagian film ini yang akan membuat perut mual.