Loading your location

Review The Running Man: Sajikan Atmosfer Distopia yang Terasa Nyata

By Ekowi14 November 2025

Julukan "Raja Horor" memang layak disematkan pada Stephen King, berkat ratusan ceritanya yang telah melahirkan barisan entitas mengerikan tanpa jejak kemanusiaan. Tapi di sisi lain, ia juga sanggup menampilkan kehangatan dalam cerita humanis. The Life of Chuck dan The Long Walk yang dirilis beberapa waktu lalu jadi salah satu contoh terbaik.

Dan kini, The Running Man pun akan menampilkan hal serupa. Sebuah film tentang proses mencari makna hidup, berlatar dunia di mana hidup tak lagi memiliki makna. The Running Man sendiri berkisah tentang Ben Richards (Glen Powell), seorang buruh miskin yang hidupnya hancur setelah putrinya jatuh sakit dan biaya pengobatannya tak mampu ia tanggung.

Dalam keputusasaannya, Ben menerima tawaran menjadi peserta dalam acara televisi paling brutal bertajuk The Running Man. Sebagai Pelari, Ben harus bertahan hidup selama 30 hari dari kejaran para Pemburu, pembunuh profesional yang haus darah dan ketenaran. Seluruh aksinya juga disiarkan secara langsung kepada jutaan penonton yang menikmati penderitaan manusia demi hiburan dan sensasi. Lantas, berhasilkah Ben keluar menjadi pemenang dari acara tersebut?

Talenta, selera, usaha. Nampaknya ketiga hal tersebut memang dimiliki oleh Edgar Wright selaku sutradara film ini. Didasari premis kelam, suguhan ini takkan berhasil tanpa kepiawaian Edgar Wright ketika berbicara melalui visual serta kehandalannya mengkreasi ketepatan timing antara tata suara dan gambar yang tentunya butuh usaha ekstra.

Bagi banyak penonton, kesan pertama The Running Man mungkin akan mengingatkan pada The Hunger Games, di mana beberapa remaja dijadikan korban dari sistem negara, masyarakat yang menonton sebagai hiburan, dan peraturan yang tak kenal ampun. Namun, Edgar Wright berhasil membawa nuansa berbeda. Jika Hunger Games terasa bombastis dengan perlawanan bersenjata, maka The Running Man lebih intim dalam menyoroti tubuh, pikiran, dan jiwa manusia yang dipaksa terus bergerak hingga titik nadir.

Sang sutradara juga piawai dalam menciptakan atmosfer distopia yang terasa nyata. Sobat nonton akan dibuat ikut merasakan beban fisik dan psikis yang dialami oleh si karakter utama. Musiknya pun tidak berlebihan, tetapi cukup untuk menambah ketegangan, membuat kita seolah berjalan bersama mereka, sambil bertanya: “Kalau saya ada di posisi ini, maka sejauh mana saya sanggup untuk melangkah?”

Secara tersirat, The Running Man juga menyajikan perjalanan yang bukan hanya fisik, tetapi juga batin. Apa arti kemenangan ketika dicapai di atas penderitaan? Apakah hidup hanya sekadar bertahan, atau tentang bagaimana kita memilih untuk berhenti? Pertanyaan-pertanyaan tadi membuat film ini jadi terasa relevan, terutama bagi generasi muda yang hidup di tengah tekanan sistem sosial, ekonomi, dan politik yang sering kali timpang.

Overall, sebagai sebuah adaptasi dari karya Stephen King, The Running Man bisa dikatakan berhasil dalam menerjemahkan horor eksistensial sang penulis ke layar lebar dengan cemerlang. Edgar Wright sanggup menyulap cerita sederhana tentang bertahan hidup menjadi sebuah alegori tajam tentang hidup, kapitalisme, dan keberanian untuk melawan.

Ya, ini bukan sekadar thriller untuk membuat jantung berdegup kencang. Ini adalah sebuah cermin yang memaksa kita menatap realitas dunia. Distopia yang terasa begitu dekat, sekaligus kisah tentang manusia yang tidak pernah kehilangan makna untuk terus melangkah.

Sobat nonton, jangan lupa bagikan tulisan ini ya!

NOW PLAYING

GARA-GARA CICILAN
SOSOK KETIGA
Cyberbullying
LEAK 2 (JIMAT DADONG)

COMING SOON

Ivanna 2
Fear Below
Ghost In The Cell
MALAM 3 YASINAN