Loading your location

Review KKN di Desa Penari Luwih Dowo Luwih Medeni: Lebih Baik Dibanding Pendahulunya

By Ekowi30 Desember 2022

Sudah mundur berkali-kali sejak rencana awal penayangannya, nyatanya KKN Di Desa Penari yang dirilis pada bulan April 2022 lalu tetap berhasil meraup 9,2 juta penonton. Apa yang membuatnya fenomenal? Tentu utas viral di Twitter yang disampaikan oleh akun bernama SimpleMan yang efektif karena ada "kedekatan" dengan masyarakat Indonesia. Sebab sebelum ini pun, peristiwa mistis di tengah kegiatan KKN (Kuliah Kerja Nyata), termasuk yang melibatkan kemesuman mahasiswa, sudah kerap mengisi obrolan-obrolan ringan di sekitar kita. 

Kedekatan itulah yang memudahkan pembaca mengasosiasikan diri dengan nasib tokoh-tokohnya, baik yang menjadi "korban langsung", maupun mereka yang terkena dampak perbuatan kawan-kawannya. Kini, momen “kedekatan” itu ingin kembali diulang oleh rumah produksi MD Pictures yang merilis versi extended film KKN Di Desa Penari yang diberi judul KKN di Desa Penari: Luwih Dowo, Luwih Medeni dengan tambahan durasi sepanjang 40 menit.

Enam mahasiswa yang melaksanakan KKN di sebuah desa terpencil, Nur (Tissa Biani), Widya ( Adinda Thomas), Ayu (Aghniny Haque), Bima (Achmad Megantara), Anton (Calvin Jeremy) dan Wahyu (M Fajar Nugraha) tidak pernah menyangka kalau desa yang mereka pilih ternyata bukanlah desa biasa.

Pak Prabu (Kiki Narendra), sang kepala desa, memperingatkan mereka untuk tidak melewati batas gapura terlarang di desa itu. Tempat misterius tersebut mungkin ada hubungannya dengan penari cantik yang mulai mengganggu Nur dan juga Widya. Satu persatu dari mereka pun mulai merasakan keanehan desa tersebut.

Bima pun mulai berubah sikap. Program KKN mereka berantakan. Tampaknya penghuni gaib desa itu tidak menyukai mereka. Nur akhirnya menemukan fakta bahwa salah satu dari mereka melanggar aturan yang paling fatal di desa tersebut.

Teror sosok penari misterius semakin menyeramkan. Mereka lalu meminta bantuan Mbah Buyut (Diding Boneng), seorang dukun setempat. Namun ternyata sudah terlambat. Mereka terancam tidak bisa pulang dengan selamat dari desa yang dikenal dengan sebutan desa penari itu.

Penulis jarang sekali mengharapkan penokohan solid di sebuah film horor. Tapi tanpanya, kekuatan KKN Di Desa Penari ini pasti akan berkurang drastis. Sedikit melompat, film ini sebenarnya mempunyai third act kuat yang berisi adegan tarian intens (performa Aghniny Haque yang di sepanjang film biasa saja, tiba-tiba melonjak di titik ini) dan konklusinya yang mengincar perasaan tragis dari sobat nonton. 

Dengan tambahan durasi yang diberikan, ternyata cukup mampu untuk mengobati lubang yang ditinggalkan oleh rilisan terdahulunya. Tiap individunya kini coba diberi penokohan yang jelas, interaksi antar karakter semakin digali, apa yang dikerjakan selama mereka KKN pun turut divisualisasikan. Sobat nonton akan mudah terkoneksi dengan karakternya, yang pada akhirnya akan menimbulkan apa yang disebut dengan sense of tragedy.

Naskah film ini ditulis oleh Lele Laila, yang menjadi langganan Awi Suryadi dalam semua keterlibatannya di seri Danur sebagai sutradara. Berkaca dari masa lalu, mudah menebak pendekatan kolaborasi keduanya: kompilasi teror! Naskahnya benar-benar mengadaptasi utas SimpleMan secara apa adanya, tanpa usaha mengembangkan penceritaan secara utuh. 

Gaya pengarahan Awi di sini cenderung lebih dekat ke film Asih ketimbang trilogi Danur. Tempo lambat di awal digunakan untuk menciptakan atmosfer, sembari menghindari kebisingan jump scare. Harus diakui, gaya di atas tadi, ditambah biaya tinggi yang memfasilitasi "hobi" sang sutradara untuk tampil stylish (camerawork, efek transisi, dan lain sebagainya), mampu menjauhkan film ini dari kesan murahan. Tapi tetap menjadi percuma tatkala masih menyamakan "alur" dengan "kompilasi teror". 

Kelemahan-kelemahan yang terdapat pada bangunan cerita KKN di Desa Penari: Luwih Dowo, Luwih Medeni ini memang membuat presentasi film ini tidak mampu untuk mencapai kualitas pengisahan terbaiknya. Namun hal tersebut tidak lantas membuat film ini tidak layak untuk diikuti. Kesan megah yang berhasil disematkan Awi Suryadi pada garapan kualitas teknis film, cukup berhasil membuat film ini nyaman untuk disaksikan.

Atmosfer kelam yang coba dibangun Awi Suryadi juga tampil cukup efektif dalam menghadirkan unsur kengerian, meskipun di beberapa bagian jarang mampu tampil menakutkan. Penampilan yang diberikan oleh barisan pengisi departemen akting film ini juga seringkali melampaui kualitas galian penulisan karakterisasi dari tokoh-tokoh yang mereka perankan. Hal yang menurut penulis cukup jarang terjadi di film-film horor Indonesia.

Akhir kata, versi ini ternyata memang lebih baik ketimbang versi pendahulunya yang dirilis delapan bulan lalu. Dengan beberapa adegan tambahan yang diberikan, plus polesan CGI yang terasa fresh, pada akhirnya membuat film ini makin memperjelas dan memberi detail pada tiap-tiap scene yang ada dan otomatis akan membuat struktur pengisahannya menjadi lebih kompleks tentunya.

Sobat nonton, jangan lupa bagikan tulisan ini ya!

NOW PLAYING

YOLO
Menjelang Ajal
TOTTO-CHAN: THE LITTLE GIRL AT THE WINDOW
Exhuma

COMING SOON

Kiblat
Kingdom of the Planet of the Apes
24 Jam Bersama Gaspar
Heartbreak Motel