Loading your location

Review Like & Share: Potret Dua Remaja Jalani Masa Pubertas

By Ekowi08 Desember 2022

Kenapa tema-tema pelecehan seksual sering muncul di film-film kita sejak dahulu? Melintas zaman dan era, walau sekarang sudah jauh berkurang dibandingkan sinema Indonesia di era ’70 ke ‘80an, ia masih terus jadi masalah yang memang dianggap sangat dekat dengan masyarakat kita atas budaya-budaya tabu terhadap edukasi seksual dan sejenisnya.

Salah? Mungkin tidak. Hanya saja, banyak yang memanfaatkannya ke ranah eksploitatif. Seringkali berlindung di balik alasan kompas moral, penggunaannya juga kerap ditujukan untuk dramatisasi berlebihan, menempatkan pelakunya lantas nekat melakukan aborsi, lalu dengan macam-macam alasan yang tak sepenuhnya punya akurasi medis pula.

Terlebih ke isu usia muda, remaja atau usia-usia SMA biasanya, ini memang seolah sudah jadi pakem di film-film lokal. Sebagian bahkan menggunakannya di genre horor, atau ada pula yang terlepas jadi seperti iklan layanan masyarakat. Namun di antaranya, ada juga yang melakukannya dengan benar dan lantas jadi tonggak terhadap temanya. Sebut saja salah seorang sineas wanita kontemporer Indonesia, Gina S. Noer. Setelah menggebrak dalam karya debut penyutradaraannya yang bertajuk Dua Garis Biru pada tahun 2019 silam, kini ia kembali mengangkat ketabuan lainnya dalam karya terbarunya, Like & Share.

Lisa (Aurora Ribero) dan Sarah (Arawinda Kirana) tak hanya duduk sebangku di SMA dan membuat proyek bersama, tapi mereka juga memiliki masalah masing-masing. Ibu Lisa, Ninda (Unique Priscilla), banyak menuntut karena takut gagal dalam rumah tangga barunya. Lisa lalu menjadi tidak betah di rumah.

Sedangkan Sarah adalah anak orang kaya yang harus kehilangan orangtuanya akibat kecelakaan. Ia hidup bersama kakak laki-lakinya, Ario (Kevin Julio). Alhasil, mereka berdua coba mencari jawaban lewat caranya masing-masing. Seperti para remaja pada umumnya, duo ini mengalami masa pubertas yang menimbulkan rasa penasaran tentang hal tabu yang bernama seksualitas.

Oke, premisnya boleh jadi biasa, tapi penelusuran Gina yang menulis sendiri skripnya dalam melirik kembali masalah ini, boleh dibilang sangat kaya. Membidik aspek-aspek di sekitar konflik remaja secara relevan, Gina bukan saja hanya bicara soal benturan konsekuensi, tapi juga kelas sosial yang sengaja digelarnya secara bertolak belakang. Dan Gina pun lalu menyelipkan elemen-elemen visual untuk menggambarkan jenjang antar kelas tersebut dari sudut pandang yang ia pilih sebagai sutradara.

Di tengah-tengahnya, ikut pula menyembul informasi lain seputar kultur remaja saat ini hingga selipan edukasi medis yang untungnya sekali ini mengalir tanpa cacat akurasi seperti yang biasa terjadi di banyak film Indonesia. Walau soal salah satu resiko terberat yang hadir menjelang penghujung film punya potensi generalisasi dan salah persepsi, tapi paling tidak ia punya relevansi di atas salah satu elemen terbaik pengisahannya yang tak melupakan hati di tengah hubungan dan interaksi keluarga.

Mengalun perlahan dan terasa sangat hati-hati, Like & Share punya cukup banyak adegan dramatis yang terjaga tanpa jatuh ke tampilan melodrama yang berlebih. Titik-titik ledak emosinya rata-rata tertata dengan sangat baik bahkan dengan berani menggelar salah satu adegan pelecehan seksual yang paling realistis di dalam sejarah sinema Indonesia.

Di bagian lain, lihat pula cara Gina menyelipkan mise n scene dengan desain bagus terhadap simbol-simbol, alegori dan metafora yang ia tampilkan termasuk ke judulnya sendiri, bersama sinematografi besutan Deska Binarso, tata artistik Dita Gambiro dan editing Aline Jusria yang sangat padu. Pilihan soundtrack pengiringnya, berikut musik dari Aria Prayogi pun sama cermatnya.

Selain itu, masih ada juga protes-protes soal diskriminasi yang sering merugikan perempuan dalam banyak masalah yang sama, begitu juga isu pengasuhan yang lebih populer disebut parenting terkait ekses konflik-konfliknya, dan semuanya dikaitkan Gina secara cukup cermat dan tepat.

Namun, bukan berarti pilihan-pilihan di atas tadi lantas tak punya resiko, terutama terhadap konsistensi dari keseluruhan bangunan karakter dan pengembangan ceritanya. Ada realitas yang tergambar memang, namun terkadang, entah karena usaha Gina dalam memadatkan durasi, penanaman informasi dalam latar belakang dan bangunan karakter itu jadi terasa kurang cukup sehingga menempatkan beberapa karakternya yang sepertinya hendak digambarkan punya benang merah kesalahan masa lalu yang sama menjadi tak konsisten.

Akan tetapi, resiko-resiko inkonsistensi tadi bukan lantas merusak keseluruhan bangunan Like & Share sebagai sebuah karya. Tak tepat mungkin menyebut film ini sebagai sebuah usaha atau kampanye edukasi seksual, bukan pula menakut-nakuti bak sebuah kompas moral. Tapi lebih jauh dari itu, Like & Share adalah sebuah teropong yang bisa membuat kita melihat lebih dekat ke anak, adik, kakak, teman, keluarga atau kerabat lain di sekitar kita, bahkan mungkin ke diri kita sendiri demi keinginan baik untuk tidak terjebak ke dalam masalah yang serupa.

Sobat nonton, jangan lupa bagikan tulisan ini ya!

NOW PLAYING

Exhuma
Agak Laen
Fast Charlie
Dune: Part Two

COMING SOON

Kejarlah Janji
A Cat's Life
Ipar Adalah Maut
The Strangers: Chapter 1