Review Anak Titipan Setan: Tak Menawarkan Hal Baru
Film Indonesia mendapat sambutan hangat dari penonton film pasca pandemi Covid-19. Lonjakan penonton pada tahun 2022 kemarin pun menjadi angin segar bagi dunia perfilman di Indonesia. Angka ini diprediksi akan terus bertambah dan melampaui rekor penonton film Indonesia pada masa sebelum pandemi berlangsung.
Menariknya, angka penonton ini banyak disumbang oleh film bergenre horor. Hal ini pun semakin mempertegas positioning bahwa dalam beberapa tahun terakhir, film dengan genre horor mendapatkan apresiasi yang tinggi dari penonton film Indonesia.
Salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bergerak di bidang perfilman, PFN (Perum Produksi Film Negara) merespon situasi ini dengan positif. Film bergenre horor berjudul Anak Titipan Setan, yang diproduksi bersama dengan Maxstream dan Jaman Studio pun turut diproduksi.
Anak Titipan Setan bercerita tentang Putri (Gisella Anastasia) yang harus kembali dari Australia karena keluarganya di desa Meloyo Kidul, Surakarta, terkena masalah besar. Eyang Susana (Ingrid Widjanarko), ibu Putri, memaksa Putri pulang membawa anak laki-lakinya, yang diyakini bisa menjadi solusi dari masalah yang dihadapi.
Masalah yang mengancam keselamatan seluruh keluarga itu berawal ketika Eyang Susana mengikuti ritual pesugihan dan mengikat perjanjian dengan iblis yang bernama Jaran Penoleh. Lantas, bagaimana cara Putri mengungkap misteri keluarga dan menyelesaikan perjanjian dengan Jaran Penoleh tersebut?
Sesungguhnya, Anak Titipan Setan ibarat mayat hidup. Film ini seolah dibuat tanpa semangat, dan tanpa usaha untuk bisa menjadi lebih baik. Semua bermain sesuai pola. Ya, sebuah pola buruk yang didasari pemikiran “Sejelek ini aja pasti bisa laku kan?”. Bahkan jajaran pemainnya, tampak luar biasa bosan, seolah ingin sesegera mungkin menyelesaikan proses produksi film ini.
Dan jika sobat nonton rutin mengikuti perkembangan horor lokal, sobat nonton pasti bisa menebak apa saja yang akan ditawarkan dari karya teranyar Erwin Arnada ini. Ambil contoh departemen musik dan tata suara. Dentingan piano bernada minor ala kadarnya mengiringi momen dramatik berisi obrolan membosankan, dentuman berisik di tiap jump scare, lalu ketika film berakhir, sayup-sayup terdengar teriakan penyesalan dari batin sobat nonton setelah membuang waktu juga uang.
Semua elemen dalam film ini tampil malas. Alurnya pun tidak kalah malas. Fokus Erwin Arnada hanyalah menyembunyikan jawaban misteri, yang sudah bisa ditebak sejak menit-menit awal, lewat beberapa elemen pencipta misleading nihil, dampak yang dipaksakan hadir ketimbang membangun jalinan misteri yang mumpuni.
Kemalasan-kemalasan di atas nantinya akan berujung dalam hal memproduksi kebodohan. Durasi 108 menit tampaknya juga cukup singkat, ditambah Anak Titipan Setan juga memasukkan terlalu banyak masalah sehingga hubungan antar pemain kurang tergali dengan baik. Dialog yang diperbincangkan juga tampak seperti poin-poin baku, bukan percakapan natural antara manusia. Bukan hanya dialognya saja, para pemain juga tampak terlalu kaku saat berperan dalam karakternya masing-masing.
Pun dengan karakter si hantu yang digambarkan drama luarnya saja. Penulis film ini tampak tidak menyelami hal paling terdalam dari karakter si hantu tersebut sehingga makna yang bisa diambil dari film ini pun tidak ada. Pada akhirnya, Anak Titipan Setan hanya seperti kesatuan film yang belum selesai seutuhnya. Namun, tak ada salahnya bagi sobat nonton untuk menilai sendiri film ini dengan menonton langsung di bioskop.