Loading your location

Review Babylon: Bukti Cinta Damien Chazelle pada Sinema

By Ekowi03 Februari 2023

Awalnya sulit dibayangkan betapa seorang Damien Chazelle, di usianya yang kala itu baru menginjak 31 tahun, bisa menciptakan mahakarya musikal semegah dan semagis La La Land. Berdasarkan mimpinya dan orang-orang di sekitarnya, skrip La La Land yang ditulisnya saat meniti karir dan mengejar mimpinya itu memang berhasil membentuknya sebagai seorang maestro musikal di tengah karya lainnya sebagai writer/co-writer di genre berbeda seperti The Last Exorcism 2, Grand Piano dan 10 Cloverfield Lane.

Kini Damien coba mengantarkan kita kepada sejarah golden age of Hollywood. Kala Los Angeles berubah menjadi kota metropolitan. Dan menengok sejarah masa peralihan industri perfilman Hollywood dari film bisu ke film bersuara. Kala itu, Hollywood berada dalam puncak kejayaannya di sekitar tahun 1920-an.

Film Babylon diawali dengan sebuah adegan pesta mewah dari golongan elit industri hiburan Hollywood. Beberapa di antaranya adalah aktris yang memiliki karier yang sangat bagus, Nellie LaRoy (Margot Robbie) dan aktor film bisu ternama dan flamboyan, Jack Conrad (Brad Pitt). Akan tetapi, film yang berkembang dengan pesat serta hidup yang glamour saat itu justru membuat para bintang itu menjadi lupa diri.

Nellie menjadi kecanduan narkoba dan Jack lambat laun mulai dilupakan karena teknologi perfilman mengalami kemajuan. Di sisi lain, Manny Torres (Diego Calva) yang merupakan seorang sutradara tersohor kala itu, tiba-tiba karirnya hancur. Hal ini karena dia memiliki masalah dengan seorang mafia bernama James McKay (Tobey Maguire).

Setelah menghilang selama bertahun-tahun, Manny kembali ke Hollywood. Dia menyaksikan Hollywood mengalami kemajuan yang sangat pesat. Manny hanya dapat meratapi nasibnya. Dia tidak dapat lagi menjadi bagian di dalam kemajuan tersebut. Padahal, dulu dia turut membangun industri film Hollywood.

Sesungguhnya, cara terbaik menonton film ini ialah menganggapnya sebagai sebuah dongeng berbalut sejarah. Untuk para penggemar film, Hollywood adalah istana impian. Tempat cerita-cerita diwujudkan menjadi gambar bergerak. Sekaligus juga, Hollywood sendiri adalah tempat cerita-cerita baru lahir. Cerita orang-orang yang datang dan pergi dari dunia perfilman.

Dalam dunia nyata, cerita-cerita tersebut seringnya merupakan tragedi. Karena para aktor-aktor memiliki masa kadaluarasa. Dalam roda industri yang terus bergulir, pemain muda akan menjadi tua dan cepat atau lambat bakal tergantikan oleh pemain muda yang baru. Dan inilah yang coba digambarkan oleh Damien Chazelle.

Ya, cerita macam Babylon ini mungkin hanya bisa dikerjakan oleh orang yang benar-benar suka pada film. Yang betul-betul mengerti seluk beluk Hollywood beserta sejarah-sejarahnya. Dan Damien sudah tidak diragukan lagi keabsahannya. Yang ia sajikan kali ini adalah kumpulan momen-momen yang menunjukkan betapa cintanya dia terhadap film. Narasi tersaji ringan, dengan banyak dialog dan adegan yang bernada komedi. Namun juga perasaan sedih dan nestapa yang terus terasa membayangi. Karena ini adalah cerita tentang perjuangan seseorang untuk tetap relevan. Untuk menjadi “immortal”.

Fantasi yang digulirkan dalam Babylon bisa jadi susah untuk ditelan bagi beberapa penonton. Terlebih bagi penonton yang relate dengan tokoh-tokoh nyata yang disinggung alias digambarkan lewat visi seorang Damien Chazelle di sini. Ya, mungkin Damien bisa saja beralasan bahwa ini bukanlah film sejarah, melainkan sebuah sajian fiksi perihal perjuangan manusia.

Penampilan Diego Calva dan Brad Pitt turut mengangkat mood film ini menjadi semakin menyenangkan sekaligus menyedihkan. Menakjubkan cara naskah menempatkan mereka di kejadian-kejadian yang “aneh”. Pun dengan Margot Robbie yang bermain menakjubkan. Naskah film ini menampilkan dirinya sebagai tokoh dongeng yang tampak nyata.

Bicara soal kelemahan, Chazelle terlihat sedikit terlalu asik bercanda di dalam film ini. Komedinya twisted and dark. Ceritanya memang menyenangkan, dengan tokoh fiksi dan nyata yang digabung, tapi bekerja dalam level yang cukup ambigu atau membingungkan. Yang untuk mengerti keambiguan dan sasaran yang dituju, sobat nonton harus tahu dulu sejarah yang benar-benar terjadi. Jika tidak, film ini akan terasa berat dan mungkin “menyesatkan”.

Tapi, di situlah letak keunikan film ini. Dia tidak takut untuk menjadi seperti demikian. Jarang kita dibuat menikmati film sekaligus menyadari yang kita tonton adalah harapan yang sudah kadaluarsa. Yang untuk menjadi pembelajaran saja tampak terlalu fantastis. Tapi jika sobat nonton mencintai sinema, dan memiliki perhatian terhadap sejarahnya, you will love this movie!

Sobat nonton, jangan lupa bagikan tulisan ini ya!

NOW PLAYING

BOCCHI THE ROCK! Recap Part 2
Amazon Bullseye
Kemah Terlarang Kesurupan Massal
You Will Die in 6 Hours

COMING SOON

1 Kakak 7 Ponakan
Dosa
Pengepungan di Bukit Duri
Yakin NIkah