Review Bukannya Aku Tidak Mau Nikah: Premis dan Karakternya Kuat
Sekilas, ketika menonton cuplikan trailernya, Bukannya Aku Tidak Mau Nikah terlihat sebagai drama remaja yang biasa disajikan oleh deretan film Indonesia sejenis lainnya. Ya, film ini memang harus diakui tidak mampu menghindari dirinya dari sejumlah konflik klise yang sering ditemukan dalam film-film drama percintaan remaja Indonesia.
Namun, naskah cerita film ini yang digarap oleh Evelyn Afnilia justru berhasil mengolah segala ke-klise-an konflik drama remaja tersebut menjadi sebuah sajian cerita yang kuat dan bahkan seringkali terasa emosional. Padanan tepat yang jelas akan membuat drama remaja yang satu ini mampu mencuri hati banyak penontonnya dan tidak hanya akan berasal dari kalangan remaja saja.
Bukannya Aku Tidak Mau Nikah akan mengikuti alur kehidupan dari seorang perempuan muda bernama Lamanda atau yang biasa disapa Manda (Amanda Rawles). Manda sudah cukup usia untuk berumah tangga. Dia pun memantapkan diri untuk menerima lamaran dari kekasihnya yang bernama Dimas (Roy Sungkono).
Tidak terasa seiring waktu berjalan, pernikahan mereka tinggal tersisa satu pekan lagi. Manda lalu memutuskan untuk mengadakan bridal shower bersama sahabat-sahabatnya ke Pulau Bali. Sampai akhirnya, Manda berkenalan dengan Bossas (Daffa Wardhana) yang merupakan seorang pemuda Bali. Bossas bisa dikatakan anak nakal lantaran kerap berbuat onar dan berkelahi.
Setelah saling mengenal beberapa hari, ternyata hati Manda mulai terketuk dengan perhatian yang diberikan oleh Bossas. Bossas memang tidak semapan Dimas, tetapi Manda merasa ada kecocokan saat berada di dekat Bossas. Di sisi lain, Manda menghadapi dilema antara tetap menikah atau memilih Bossas yang sudah membuatnya jatuh cinta lagi.
Tidak seperti kebanyakan film drama percintaan remaja Indonesia lainnya yang menghadirkan deretan dialog penuh dengan kalimat-kalimat puitis atau mengisi gambarnya dengan tata sinematografi yang mewah, Bukannya Aku Tidak Mau Nikah lebih terasa begitu membumi dengan pembangunan jalan ceritanya. Sederhana, tidak pernah terasa berlebihan maupun mengada-ada dalam mengeksplorasi kehidupan para karakternya, yang nantinya akan membuat jalan cerita film ini semakin mudah untuk disukai.
Film ini juga tidak melulu berfokus pada perjalanan romansa yang dialami oleh dua karakter utamanya. Karakter-karakter pendukung yang berada di sekitar mereka juga diberikan ruang pengisahan yang cukup sehingga kehadiran mereka semakin mendukung solidnya kualitas penceritaan. Evelyn sebagai penulis skenario bisa dikatakan rajin dalam menggali kisah masa lalu dan konflik pribadi dari para karakter-karakternya. Film ini secara gamblang juga mengangkat premis yang bisa dikatakan cukup lugas: ingin hidup bebas tapi miskin atau kaya tapi dikekang?
Tidak hanya solid dari segi penulisan naskah cerita, Guntur Soeharjanto selaku sutradara juga memberikan pengarahan yang mampu mengalirkan penceritaan film ini dengan cukup baik. Guntur berhasil menghadirkan perjalanan kisah filmnya dengan penceritaan yang tepat. Tidak pernah terasa terburu-buru dalam menyelesaikan konflik yang diangkat, namun sama sekali tidak pernah terasa berjalan lamban dan membosankan.
Pilihan Guntur untuk mengisi adegan-adegan film ini dengan komposisi musik pop kontemporer yang ringan namun begitu easy listening daripada berusaha memanipulasi emosi penonton dengan sajian tata musik orkestra yang mendayu-dayu juga memberikan film ini poin keunggulannya tersendiri. Kualitas produksi film juga hadir dengan kualitas prima mulai dari menghadirkan gambar yang nyaman untuk disaksikan maupun tata gambar yang mendukung atmosfer pengisahan yang sesuai dengan jalan cerita film ini.
Pada akhirnya, Bukannya Aku Tidak Mau Nikah berhasil masuk ke jajaran film lokal bertema drama percintaan yang kuat dalam hal penekanan premis dan karakternya. Suatu hal yang kini semakin jarang ditemui tatkala puisi-puisi hampa nihil rasa yang selalu menjadi andalan untuk menggerakkan cerita.