Review Waktu Maghrib: Penuh Jumpscare dan Adegan Mengerikan
Waktu Maghrib sejatinya memiliki karakteristik serupa horor lokal kelas menengah ke bawah yang rutin dirilis tiap minggu, seperti pondasi cerita lemah yang memaksakan diri menutup kisahnya lewat kejutan dan sepenuhnya mengandalkan jumpscare untuk menakut-nakuti. Tapi, saat mayoritas layar lebar di genre tersebut hanya berujung menghasilkan sakit kepala, setidaknya film ini cukup menyenangkan berkat keberhasilan satu aspek, yakni timing.
Adi (Ali Fikry), Saman (Bima Sena), dan Ayu (Nafiza) tinggal di Desa Jatijajar, sebuah desa terpencil di Jawa Tengah. Karena harus membantu keluarga mereka di ladang, Adi dan Saman sering terlambat masuk sekolah. Akibatnya, keduanya sering dihukum oleh Bu Woro (Aulia Sarah), guru mereka yang disiplin dan galak.
Suatu hari, kekesalan Adi dan Saman terhadap Bu Woro memuncak. Mereka menyumpahi Bu Woro, bahkan berharap agar guru itu mati saja. Sumpah ini terucap bersamaan dengan berkumandangnya adzan Maghrib. Tak lama sesudahnya, Bu Woro meninggal secara mengenaskan. Sejak itu, Adi dan Saman mengalami teror supernatural yang mengerikan. Hadir mahluk halus misterius berseragam guru, persis seperti yang dikenakan Bu Woro sewaktu tewas dulu.
Lama kelamaan, teror tak hanya mengancam fisik, namun juga jiwa mereka. Setelah membantai ayam piaraan Pak Lurah (Muhammad Abe), Saman melawan kakaknya hingga tewas. Usai melakukan aksi penuh darah ini, remaja tersebut kesurupan dan bunuh diri tepat saat adzan Maghrib berkumandang. Ayu menduga ada kekuatan jahat yang lebih menakutkan di balik rentetan kejadian ini. Jika ia tak melakukan sesuatu, Adi akan bernasib sama.
Setidaknya, berbeda dengan kompatriotnya sesama horor lokal dengan formula setipe, tiap bagian “matahari terbenam”, Waktu Maghrib bukanlah sebuah snoozefest. Ikatan kebersamaan antara para pemain ciliknya mampu dibangun dengan baik. Terpenting, karakternya tampil layaknya manusia semestinya. Ali, Bima, dan Nafiza mampu bermain solid, mereka dapat membuktikan jangkauan akting luasnya lewat variasi gestur dan penghantaran kalimat, tapi narasi soal kebersamaan itu takkan berhasil andai jajaran penampil cilik ini gagal menciptakan dinamika akting.
Bicara soal kualitas akting, interaksi para aktor cilik ini menyimpan cukup nyawa guna membangun intensitas, seperti saat beradegan kesurupan. Akting teriakan mereka bukanlah sekadar teriakan omong kosong, melainkan teriakan kekhawatiran. Sebuah sentuhan kecil yang sekilas terkesan remeh, namun menciptakan sense of urgency, aroma ketakutan, dan menggambarkan betapa karakternya saling peduli.
Eksekusi terornya sendiri sebenarnya memakai metode konservatif, yakni jumpscare tanpa inovasi berisi kemunculan tiba-tiba hantu ditambah sound effect menggelegar. Pun tak jarang, penyuntingan adegannya terlalu cepat sehingga sulit memastikan apa yang nampak di layar. Ditambah dentuman musiknya yang memberitahu bahwa tengah terjadi peristiwa mengerikan. Tapi sekali lagi, poin terpenting terletak di timing.
Melalui debut penyutradaraan film panjangnya, Sidharta Tata berhasil membungkus penampakan pasukan makhluk halusnya dengan ketepatan timing. Seolah ia tahu kapan penonton berekspektasi hantu bakal menyerang, lalu secara cerdik mempermainkan ekspektasi itu. Sehingga tanpa hal baru atau kreativitas luar biasa pun, Waktu Maghrib cukup sukses memancing teriakan penonton. Selain jumpscare, film ini juga memfasilitasi para pecinta gore lewat kekerasan, darah, atau kondisi kematian yang mengerikan.
Namun sayang, klimaksnya masih terkesan terlalu jinak. Padahal lewat eksekusi yang lebih eksplisit, efek dari konklusinya yang suram nan tragis bisa lebih menusuk. Kalau alasannya demi menghindari gunting sensor, kenapa repot-repot mempertahankan konsep itu sedari awal? Bukankah lebih bijak mencari alternatif yang tak membutuhkan sadisme untuk menciptakan dampak yang lebih hebat kepada para penonton? Ditambah adegan flashback dengan pondasi lemah yang tampil kacau dan malah menghasilkan kerumitan tak perlu, paruh akhir Waktu Maghrib memang nyaris mematikan keunggulan filmnya.