Review Blink Twice: Tontonan Kelas Wahid!
Nama Zoë Kravitz mulai bersinar tatkala dirinya berperan sebagai Selina Kyle atau Catwoman dalam film The Batman pada tahun 2022 lalu. Kini, ia mencoba peruntungannya di bangku sutradara lewat film debutnya yang berjudul Blink Twice. Sang kekasih, Channing Tatum, juga didaulat sebagai pemeran utama dari film yang sedikit banyak mengambil tema tentang #metoo movement tersebut.
Kisah dalam Blink Twice diawali ketika seorang miliarder yang tampak sempurna, Slater King (Channing Tatum), mengundang teman-temannya ke sebuah pulau pribadi yang misterius. Salah satu yang diundang adalah seorang pelayan koktail di Los Angeles yang bernama Frida (Naomi Ackie). Frida merasa kesempatan ini menjadi pelarian yang sempurna dari rutinitasnya.
Pada awalnya, semua memang tampak sempurna, dengan malam penuh pesta dan hari yang cerah di bawah sinar matahari. Namun, suasana menyenangkan itu lambat laun berubah menjadi mencekam. Kejadian-kejadian aneh pun mulai terjadi, dengan puncaknya tatkala sahabat Frida menghilang secara misterius. Sang pelayan koktail tersebut merasa ada sesuatu yang tidak beres dari pulau pribadi milik Slater itu, sehingga ia mulai meragukan orang-orang di sekitarnya.
Frida pun berusaha sekuat tenaga dalam mengungkap kebenaran di balik pulau tersebut untuk menyelamatkan diri. Lantas, berhasilkah ia keluar hidup-hidup dari tempat misterius tadi?
Membaca sekilas sinopsis di atas, kita semua pasti akan langsung teringat dengan sebuah kasus fenomenal yang melibatkan seorang warga negara Amerika Serikat bernama Jeffrey Epstein atau produser film bernama Harvey Weinstein. Ya, Jeffrey dan Harvey merupakan pelaku kasus sexual harrasment yang sempat mencuri perhatian publik belum lama ini. Dan bisa dikatakan, film ini mungkin terinspirasi dari para pelaku kejahatan tadi.
Well, pertanyaan penting yang perlu diajukan pada sebuah film yang mengangkat kasus kekerasan seksual adalah bagaimana sudut pandang yang digunakan dan bagaimana kekerasan seksual tersebut “dikemas”? Dan Zoë Kravitz tampaknya paham benar bagaimana harus mengangkat isu sensitif seperti kekerasan seksual tadi ke dalam medium film.
Segala amunisi untuk melahirkan tontonan kelas wahid memang dipunyai oleh film ini. Entah sebagai sajian thriller yang intens, ataupun cerita yang heartbreaking sekaligus empowering perihal isu gender. Zoë juga terlihat sangat berhati-hati dan tidak sembrono terkait aspek visual film ini. Pelecehan dan kekerasan seksual yang dialami oleh para karakternya tidak hanya dijadikan sebagai tontonan. Rincian kejadiannya pun coba “dibagikan”, bukan hanya sekadar “ditampilkan”.
Overall, Blink Twice seakan menjadi pengingat betapa pentingnya sebuah keterbukaan dalam mengungkap banyaknya kasus pelecehan seksual yang terjadi akhir-akhir ini. Film ini juga menjadi pesan tentang pentingnya mendengar dan menanggapi serius laporan para korban pelecehan seksual, yang jelas membutuhkan keberanian besar dalam mengungkapkan kejadian buruk yang telah mereka alami.