Review Dune: Part Two: Lampaui Capaian Film Pertamanya
Suguhan sci-fi Hollywood nyatanya terbagi dua, yakni blockbuster berbujet raksasa dan proyek indie/arthouse minimalis. Sesekali muncul varian lain, namun jumlahnya tak cukup banyak untuk menghasilkan kubu ketiga. Monoton. Lalu datanglah adaptasi layar lebar kedua bagi novel Dune karya Frank Herbert ini pada tahun 2021 lalu.
Dune versi Denis Villeneuve ini sama sekali berbeda dibanding buatan David Lynch (1984), yang lebih dikenal karena konflik di balik layar. Disokong kucuran dana yang cukup untuk memproduksi film MCU, yakni sekitar 165 juta US dollar, Dune memiliki tubuh blockbuster, namun berjiwa arthouse. Mungkin cuma 2001: A Space Odyssey (1968) yang mendekati bentuk Dune, sebagai sci-fi artsy berbiaya tinggi.
Dan kini, sambutlah Dune: Part Two yang merupakan sekuel dari Dune versi Villeneuve. Cerita dalam film Dune: Part Two bermula setelah kematian sosok bernama Jamis (Babs Olusanmokun). Ia adalah pejuang Fremen di dunia Arrakis yang terpencil. Pada kondisi ini, tokoh utama kita yang merupakan keturunan bangsawan, Paul Atreides (Timothée Chalamet), menemukan dirinya dalam dilema.
Paul mengalami dilema antara cinta dan loyalitasnya terhadap Fremen serta takdirnya sebagai figur mirip mesias yang dikenal sebagai Kwisatz Haderach. Sebagai pewaris House Atreides, Paul lalu melanjutkan perjalanannya untuk memenuhi ramalan tentang keluarganya dan planet Dune. Ketika Paul memperoleh penghormatan dari Fremen, ia menyambut budaya mereka dan menjalani pelatihan yang ketat untuk menguasai kemampuannya yang misterius dan kuat.
Harus diakui, jika dibandingkan dengan era di mana Jodorowsky maupun Lynch mempersiapkan adaptasi layar lebar Dune mereka, Villeneuve jelas memiliki keuntungan lebih dengan teknologi perfilman yang kini telah memungkinkan setiap pembuat film untuk mewujudkan setiap fantasi akan visual pengisahan film mereka. Namun, tentu saja, fantasi yang tinggi tidak akan dapat berbanding lurus tanpa diiringi oleh visi pengarahan cerita yang benar-benar kuat.
Dengan bantuan sinematografer Greig Fraser, Villeneuve mampu menyajikan Dune: Part Two sebagai presentasi yang teramat megah. Kualitas departemen produksinya hadir tanpa cela. Di departemen musik, Hans Zimmer juga mampu menghasilkan iringan musik yang terdengar memiliki identitas yang lebih dekat dengan tema pengisahan yang dibawakan Dune daripada terdengar familiar dengan iringan musik garapan Zimmer lainnya sebelum ini.
Jika Blade Runner 2049 membantu mengasah kemampuan Villeneuve untuk bercerita melalui capaian teknis filmnya, maka pengaruh yang diberikan oleh filmnya yang berjudul Arrival, dan mungkin seluruh film-film yang telah diarahkan oleh Villeneuve sebelumnya, jelas juga dapat dirasakan dalam tata penuturan Dune: Part Two kali ini.
Villeneuve dengan berani membedah kompleksitas yang dimiliki oleh struktur pengisahan Dune akan intrik sosial dan politik yang mengkritisi kolonialisme serta eksploitasi hasil alam untuk kemudian memaparkan setiap lapisan tersebut secara bertahap. Pilihan tersebut tidak pelak menjadikan Dune bertutur dengan tempo yang cukup lamban memang.
Namun, di saat yang bersamaan, pemaparan Villeneuve tidak pernah terasa membosankan berkat kehandalannya dalam menjaga intensitas cerita. Tiap konflik, tiap cerita, tiap karakter, serta tiap kondisi pengisahan dihadirkan dengan lugas yang akan membuat mereka yang tidak familiar dengan kisah Dune dapat mengidentifikasi tiap elemen pengisahan film ini dengan mudah. Dengan sokongan kualitas produksi yang maksimal, penuturan Dune akan menghasilkan pengalaman sinematis yang akan membekas lama di benak setiap sobat nonton.
Pada akhirnya, Dune: Part Two jelas melampaui capaian film pertamanya, dan menjadikannya sebagai sebuah sajian yang menghipnotis sekaligus testimoni akan kecerdasan serta kehandalan Denis Villeneuve sebagai seorang pembuat film yang visioner.