Review Hayya 3: Gaza: Banyak Pesan tentang Kemanusiaan, Cinta, dan Keimanan
Apapun kisahnya, jika hal itu menyangkut tentang kehilangan, kepergian, serta ditinggalkan oleh orang terkasih, maka pastinya akan selalu menjadi momen menyedihkan. Baik yang diceritakan melalui cerita novel, realita, maupun dalam sebuah film.
Tak terkecuali dengan film yang berjudul Hayya 3: Gaza yang sudah resmi tayang di bioskop pada 12 Juni 2025. Hayya 3: Gaza sendiri akan berkisah tentang Abdullah Gaza (Azamy Syauqi), seorang anak berusia delapan tahun yang harus menjalani hidup sebagai yatim piatu setelah ditinggal ayahnya.
Semenjak ditinggal ayahnya, Gaza tinggal di panti asuhan yang dikelola oleh Ustadzah Dewi (Oki Setiana Dewi) bersama Shafira (Cut Syifa). Di tempat inilah, Gaza bertemu dengan Hayya (Amna Shahab), seorang gadis kecil dari Palestina, dan mereka pun menjalin persahabatan yang erat.
Kisah mereka terjalin begitu mendalam karena latar belakang keduanya saling terhubung. Gaza merupakan anak dari pejuang kemanusiaan yang meninggal demi rakyat Palestina, sedangkan Hayya adalah anak yang tumbuh di tanah yang diperjuangkan oleh ayah Gaza.
Namun, kedekatan Hayya dan Gaza harus diuji oleh peristiwa yang membahayakan keselamatan keduanya dan mengguncang kehidupan yang baru dibangun. Peristiwa apakah itu?
Mengulang apa yang sudah penulis singgung di atas tadi, bahwa sedih sudah pasti akan menjadi perasaan utama yang paling dominan kita rasakan ketika menghadapi sebuah kehilangan. Marah, mungkin akan menjadi perasaan kedua yang dirasakan, yang muncul akibat ketidakberdayaan kita mencegah suatu kejadian dengan berujung pada kehilangan tadi.
Dan memang, fokus utama film ini adalah tentang sebuah harapan yang timbul akibat kehilangan. Dan sobat nonton benar-benar akan ditunjukkan oleh gambaran yang detail dan menyeluruh tentang pedihnya perasaan seorang anak yang telah kehilangan ayahnya, namun belum bisa mengikhlaskan kepergiannya. Bagaimana depresinya, kacaunya, dan segala bentuk perasaan menyedihkan lainnya akibat kepergian sang ayah tercinta.
Pemilihan lokasi syuting juga menambah nilai plus tersendiri untuk mempercantik visual dalam film ini. Walaupun sayangnya, hal tersebut tidak menjadi nilai tambah yang berlarut dalam pujian saja. Seperti api yang cepat merambat, penggunaan cut to cut atau perpindahan adegan satu ke adegan berikutnya, sangat mengganggu keindahan visual yang ditampilkan.
Di saat sobat nonton masih menyaksikan adegan yang tersaji, lantas secara tiba-tiba fokus tadi harus “dipindahkan” ke adegan berikutnya. Sialnya, perpindahan yang diberikan tadi sangat terasa sekali patahnya. Tak hanya sekali dua kali, hampir keseluruhan sistem perpindahan dalam film ini dilakukan dengan cepat tanpa adanya sisi “pemanis”.
Akan tetapi, sang sutradara Jastis Arimba masih secara tepat memberikan konflik yang tidak begitu berat namun tetap sesuai dengan kisah yang diangkat. Sehingga ia berhasil menyajikan film ini dengan perasaan emosional yang lebih dominan.
Secara keseluruhan, film Hayya 3: Gaza sangat layak untuk ditonton oleh semua lapisan usia karena mengandung banyak pesan tentang kemanusiaan, cinta, dan juga keimanan. Disajikan secara sederhana tanpa terkesan menggurui, Hayya 3: Gaza menambah satu lagi deretan film humanis karya sineas tanah air.