Review Rahasia Rasa: Film tentang Kuliner yang Kaya akan 'Bumbu'
Sineas Indonesia kenamaan Hanung Bramantyo kembali hadir dengan karya terbarunya bertajuk Rahasia Rasa. Dalam film ini, Hanung Bramantyo bekerja sama dengan Adi Nugroho dan Haqi Achmad sebagai penulis naskah. Lewat Rahasia Rasa, Hanung sepertinya ingin mengungkapkan bahwa kuliner bukan sekadar makanan di meja makan, melainkan sarat akan makna yang mendalam.
Film Rahasia Rasa akan mengisahkan perjalanan Ressa (Jerome Kurnia), seorang chef yang sangat ahli di bidang kuliner. Namun, ia menghadapi ujian berat ketika kehilangan indra pengecapnya. Dalam proses pemulihan, Ressa mendapatkan bantuan dari Tika (Nadya Arina), seorang juru masak rumahan yang mewarisi resep-resep legendaris dari buku Mustikarasa.
Mustikarasa sendiri merupakan karya dari Presiden Soekarno, yang bertujuan untuk mencapai kedaulatan pangan di Indonesia sekaligus menjadi dokumentasi seni kuliner tanah air. Diceritakan, Tika mendapatkan buku Mustikarasa dari keluarganya, Mbah Wangsa (Yati Surachman). Kedekatan antara Ressa dan Tika pun memunculkan benih cinta di antara mereka.
Namun, kisah cinta mereka tak berjalan mulus. Mereka harus menghadapi berbagai tantangan, termasuk kehadiran Broto dan Dinda, mantan pacar Ressa, yang semakin memperumit hubungan mereka. Film ini juga dibintangi oleh Ciccio Manassero (Alex) dan Slamet Rahardjo (Broto).
Lantas, apa yang sebenarnya tersembunyi di dalam buku Mustikarasa? Dan dapatkah Ressa serta Tika menemukan kembali “rasa” yang telah hilang itu?
Well, Rahasia Rasa rasa-rasanya ibarat sebuah hidangan yang memiliki banyak sekali bumbu. Ada yang berhasil membuat hidangannya enak, tetapi masih ada juga beberapa bumbu yang justru malah membuat rasa hidangannya menjadi terlalu ramai.
Nah, mari kita mulai dengan bumbu-bumbu yang membuat film ini menjadi bagus. Hanung sepertinya tahu betul bagaimana cara membuat character development yang menarik. Ressa yang awalnya berkarakter agresif, lama-kelamaan menjadi lebih kalem, dan perjalanan karakter tersebut benar-benar begitu terasa perbedaannya.
Lalu bagaimana soal aktingnya? Yap, semua castnya bener-bener berhasil menjalankan tugasnya. Selain itu, aspek sound design yang dahsyat juga membuat film ini menjadi pengalaman menonton yang seru di bioskop. Ditambah lagi, munculnya aspek misteri dan thriller yang juga memperkaya narasi dari film ini.
Namun sayangnya, aspek-aspek di atas tadi masih seringkali seperti saling berebutan untuk ditampilkan di layar. Hal tersebut sedikit banyak membuat film ini kadang terasa lama, dan kadang terasa terlalu cepat. Editing dan color grading film ini juga tampil tidak konsisten. Pada scene flashback contohnya, terkadang ditambahkan nuansa vintage di dalamnya, namun terkadang juga malah dibuat blue hue, termasuk tone dan ambiance di film ini secara keseluruhan.
Meskipun ada beberapa kelemahan, tapi film ini tetaplah sangat enjoyable saat ditonton. Apalagi, momen-momen memasak dan segala unsur kuliner yang ditampilkan di sini dijamin akan membuat sobat nonton menjadi ingin segera mencicipi makanan tersebut. Plus, film ini juga membawa topik yang jarang dibahas di Indonesia.
So, kita harus mengapresiasi usaha Hanung Bramantyo untuk membuat film yang mengangkat tema kuliner, setelah film Filosofi Kopi serta Aruna & Lidahnya yang dirilis beberapa tahun silam. Dan sebaiknya sobat nonton segera menonton film ini di bioskop sebelum jam-jam tayangnya direnggut oleh film horor yang terus beranak-pinak tiap minggunya.