Review The Unbreakable Boy: Drama Keluarga yang Sentimental dan Humanis
Setelah kegagalan film Shazam! Fury of the Gods di tangga box office, kini aktor Zachary Levi mencoba kembali peruntungannya dalam sebuah film drama berjudul The Unbreakable Boy. Filmnya sendiri diangkat dari buku autobiografi Scott LeRette berjudul The Unbreakable Boy: A Father’s Fear, a Son’s Courage, and a Story of Unconditional Love yang diterbitkan pada tahun 2014 silam.
The Unbreakable Boy bercerita tentang seorang anak laki-laki bernama Austin (Jacob Laval) yang hidup dengan pandangannya yang unik dalam melihat dunia. Austin mengidap suatu penyakit tulang bernama osteogenesis imperfecta atau terkenal dengan sebutan brittle bone disease. Keadan di mana tulang-tulangnya mudah patah karena kelainan genetik. Austin juga mengidap autism spectrum disorder(ASD).
Dengan segala hal yang membentuk diri dan hidupnya, Austin tumbuh sebagai seorang anak yang humoris dan senantiasa ceria, tentunya dengan cara-caranya sendiri. Kehadiran Austin justru jadi inspirasi besar bagi orang-orang di sekitarnya. Ayah Austin, Scott (Zachary Levi), juga belajar banyak dari semangat dan kegembiraan hidup Austin, yang membantunya menemukan makna sejati dan menjadi semakin “tak tergoyahkan”.
Dengan naskah cerita yang ditulis langsung oleh sang sutradara, Jon Gun, bersama Scott LeRette dan Susy Flory, The Unbreakable Boy harus diakui memang merupakan sebuah drama keluarga yang tidak ragu-ragu menggunakan berbagai formula pengisahan drama sentimental untuk mendapatkan reaksi emosional dari para penontonnya.
Film ini bahkan tidak ragu untuk menggunakan formula sentimental tersebut secara berulang kali di sepanjang 1 jam 49 menit durasi pengisahannya. Dalam pengarahan yang berkualitas “medioker”, penggunaan deretan formula familiar tersebut dapat saja menjebak sebuah film sehingga menjadi tampil dangkal dan cenderung menjauh dari kualitas pengisahan drama yang solid. Beruntung, Jon Gunn memiliki berbagai elemen pengisahan lain yang membuat film ini berhasil tampil sebagai sebuah drama yang menyentuh.
Modal utama bagi penceritaan film ini jelas didapatkan dari kualitas penulisan cerita yang terbilang faktual sekaligus humanis. Dengan jalan cerita yang tampil begitu humanis tersebut, film ini mampu menggambarkan bagaimana setiap individu merupakan sosok yang unik dan berbeda satu dengan yang lain, serta bagaimana usaha setiap individu tersebut berusaha untuk mencari tempatnya di dalam sebuah lingkungan. Dari titik itu, The Unbreakable Boy hadir secara universal dan dengan mudah dapat terhubung pada setiap penontonnya.
Film ini juga cukup mampu menangkap seluruh esensi pengisahan yang dimiliki oleh novel aslinya, meskipun tidak pernah terasa sebagai sebuah jalan cerita yang benar-benar segar maupun istimewa, namun kefamiliaran dan kehangatan yang dimiliki oleh The Unbreakable Boy otomatis membuatnya mampu menjadi sebuah narasi yang kuat.
Jon Gunn sendiri mendapatkan kualitas penampilan yang benar-benar meyakinkan dari para pengisi departemen akting filmnya. Nama-nama seperti Zachary Levi, Jacob Laval, Meghann Fahy, hingga Drew Powell mampu menghadirkan penampilan terbaik mereka. Namun, adalah kemampuan Jon Gunn untuk mengarahkan penampilan para pemeran mudanya yang membuat film ini tampil semakin dinamis, khususnya Jacob Laval yang tampil dengan penampilan yang sangat meyakinkan dan emosional.
Pada akhirnya, The Unbreakable Boy akan mengajarkan satu poin penting, bahwa setiap manusia pasti memiliki kelemahan serta kelebihan. Di samping itu, terkadang hidup bukan semata tentang kita, melainkan tentang orang-orang di sekitar yang selalu mendukung kita dalam keadaan apapun.