Loading your location

Review Black Panther: Wakanda Forever: Kisah Superhero Paling Emosional

By Ekowi09 November 2022

Menjadi bagian dari MCU (Marvel Cinematic Universe) dan The Avengers, Black Panther mungkin adalah langkah paling berani dari Marvel dan Disney. Bukan lagi soal karakter yang walau sudah diperkenalkan lewat Captain America: Civil War, tapi tetap saja tak sepopuler karakter The Avengers lainnya, namun dalam perwujudannya, Black Panther memang merupakan film superhero yang didominasi oleh karakter berkulit hitam.

Sekuel ini, mau tak mau memang punya resiko dalam soal representasi sinema Hollywood yang kerap dipandang punya segmentasi berlebih soal aktor kulit berwarna, walaupun masih ada beberapa karakter kulit putih di dalamnya. Namun juga, pergerakan diversity di Hollywood sekarang ini sekaligus memberinya kesempatan besar sebagai sebuah pembuktian di deretan film-film superhero berkulit hitam yang sudah ada sebelumnya dari Blankman, The Meteor Man, Steel, Spawn hingga dua yang terhitung sukses namun memang secara keseluruhan lebih diverse, yakni Blade dan Hancock.

Hasilnya, sekitar 1,3 milyar dollar dari raihan box office di seluruh dunia berhasil dikantongi oleh Kevin Feige dan rekan-rekannya empat tahun silam. Dan kini, mereka pun kembali melahirkan saga kedua dari Black Panther sekaligus film penutup fase keempat Marvel Cinematic Universe (MCU) yang bertajuk Black Panther: Wakanda Forever.

Dalam Black Panther: Wakanda Forever, kali ini negeri Wakanda harus menghadapi serangan bangsa bawah permukaan laut yang bernama Talocan yang dipimpin oleh Namor (Tenoch Huerta). Namor memutuskan muncul ke permukaan karena ia melihat kondisi bangsa Talocan menjadi terancam setelah bangsa Wakanda memilih untuk lebih terbuka di hadapan dunia. Talocan menganggap keputusan Wakanda tersebut dapat membahayakan kelangsungan hidup bangsanya. Oleh karena itu, Talocan berusaha mencari cara untuk melindungi bangsanya dari ancaman yang berbahaya itu.

Kemunculan Namor dan bangsa Talocan menjadi masalah besar bagi rakyat Wakanda yang pada saat itu masih diselimuti duka mendalam setelah kepergian Raja T'Challa (Chadwick Boseman). Berhasilkah bangsa Wakanda menghalau serangan bangsa Talocan? Dan akankah sosok Black Panther terlahir kembali?

Kembali disutradarai oleh Ryan Coogler, sineas berkulit hitam dari indie hit Fruitvale Station dan spinoff Rocky, Creed, hal pertama yang paling menonjol dalam Wakanda Forever memang adalah representasi kultur berikut sinema para karakter Afrika-nya. Coogler secara efektif bermain di variasi genre ala MCU, membawanya ke ranah baru yang menggabungkan cakupan lebar aksi spionase ala James Bond, hingga fantasi aksi medieval dengan subteks mendalam soal eksistensi.

Subteks ini juga yang membuat Wakanda Forever terasa punya keunikan lebih, di mana detil-detil universe dan origin terpisahnya dari The Avengers tampil dengan solid lewat skrip dan storytelling Coogler dengan hanya satu instalmen, namun sama sekali tak kehilangan benang merah sebagai bagian dari keseluruhan MCU dengan selipan ciri khas pakemnya, hingga ke beragam tribute sentimentil terhadap mendiang Chadwick Boseman.

Dan berbeda dari film-film superhero kulit hitam lainnya, production values Wakanda Forever di tangan produser Kevin Feige jelas tak main-main. Walau babak keduanya lebih dipenuhi intrik ketimbang aksi, action staging dan polesan CGI plus gimmick teknologi tambahannya ada di kelas MCU seperti biasanya, belum lagi desain produksi set bawah laut negeri Talocan yang sangat megah serta panoramik (penulis menyarankan untuk menonton film ini dalam format 3D!).

Dan di atas semua itu, perpaduan ansambel yang didominasi aktor Afrika-Amerika ini memang punya semangat besar untuk membayar semua ambisi yang jadi penerjemahan bagus bersama mitologi komiknya.

Mengusung gesekan ideologi bernuansa politis, wajar tatkala Wakanda Forever tanpa injeksi humor sebesar mayoritas film MCU lainnya, meski balutan komedi tetap hadir dalam takaran secukupnya. Lagipula, apa jadinya film positif nan penuh harapan macam Wakanda Forever ini jika tidak dibarengi oleh tawa?

Naskah yang digarap sutradara Ryan Coogler bersama Joe Robert Cole mungkin bukan skenario dengan alur revolusioner, bahkan cenderung repetitif. Tapi kekurangan itu dapat ditebus lewat dialog kaya akan subteks soal ras, politik, hingga budaya.

Bicara mengenai budaya, suasana afrofuturism milik Wakanda Forever jelas merupakan salah satu penataan artistik terbaik dalam film pahlawan super. Kostum beraneka warna berbalut desain unik, beberapa upacara adat, bahkan pesawat milik bangsa Wakanda menyerupai topeng suku-suku di Afrika. Peleburan sisi tradisional dan modernnya berhasil ditampilkan dengan sempurna.

Pada akhirnya, Wakanda Forever jelas akan meninggalkan jejak dan kesan yang begitu mendalam atas kemasannya sebagai sebuah film pahlawan super dengan deretan karakter berkulit hitam yang mampu tergarap megah dengan balutan narasi dengan kuat. Ditambah lagi, film ini merupakan surat cinta yang begitu mendalam atas kepergian sang Black Panther, Chadwick Boseman.

Meskipun menghadapi beberapa permasalahan di beberapa bagian penceritaannya, namun Wakanda Forever tetap berhasil menjadi sebuah film pahlawan super yang esensial dalam sejarah perfilman dunia, dengan tidak melupakan unsur hiburannya yang juga begitu menyegarkan. Sebuah langkah maju yang jelas menyenangkan bagi barisan film pahlawan super buatan Marvel Studios dan Walt Disney Pictures.

Sobat nonton, jangan lupa bagikan tulisan ini ya!

NOW PLAYING

Death Whisperer 2
Negeri Para Ketua
Red One
WE LIVE IN TIME

COMING SOON

Paddington in Peru
Gopek
Norma: Antara Mertua dan Menantu
Pamali: Tumbal