Review The Woman King: Kisah Heroik Pahlawan Afrika Melawan Penjajah
Ketika artis kondang Maria Bello mengunjungi negara Benin di Afrika Barat pada tahun 2015, dia mempelajari sejarah Agojie, resimen militer wanita dari Kerajaan Dahomey (yang juga pernah disinggung dalam film Black Panther). Menyadari potensi sinematik untuk cerita ini, ia mengembangkan proyeknya dengan produser Cathy Schulman, dan menggaet Gina Prince-Bythewood sebagai sutradara, serta aktris pemenang Oscar, Viola Davis sebagai pemeran utama. Proyek ambisius ini pun diberi judul The Woman King.
The Woman King akan menceritakan perjalanan epik dan emosional tentang Jenderal Nanisca (Viola Davis), yang meruakan pemimpin Agojie. Dia melatih generasi penerus yang telah direkrut untuk melawan musuh demi mempertahankan kehidupan dan harga diri kelompok mereka.
Seperti yang telah disinggung sebelumnya, film ini memang terinspirasi kisah nyata yang terjadi di Dahomey, sebuah negara kuat di Afrika pada tahun 1600-1894. Selama kurun waktu itu, Dahomey tak hanya menghadapi serangan besar dari Prancis, tapi juga dari suku-suku tetangganya. Memiliki hampir enam ribu prajurit, Dahomey mampu bertahan selama hampir tiga abad sebelum akhirnya dikalahkan oleh Prancis dalam Perang Franco-Dahomean pada akhir abad ke-19.
Kekayaan warna pengisahan yang digarap Gina Prince-Bythewood untuk The Woman King jelas menjadi elemen terkuat dari presentasi cerita film ini. Sebagai sebuah film “pahlawan super”, kerangka penceritaan The Woman King sebenarnya dihadirkan dalam formula yang tidak jauh berbeda dan cukup familiar jika dibandingkan dengan film-film bertema pahlawan lainnya.
Plot tentang jatuh bangunnya seorang sosok pahlawan, usaha untuk mengejar seorang karakter antagonis utama dalam jalan pengisahannya, hingga tatanan cerita tentang perebutan tahta kekuasaan, kembali menjadi konflik yang didaur ulang dalam penceritaan film ini. Namun, di saat yang bersamaan, keberhasilan sang sutradara untuk memberikan bangunan latar belakang pengisahan yang kuat pada setiap karakter dan konflik yang hadir dalam film ini membuat deretan formula yang telah familiar tersebut menjadi begitu mengikat.
Lihat saja bagaimana isu politik dan sosial budaya, khususnya tentang ras dan representasi golongan yang memang menjadi topik hangat di dunia saat ini, mampu ditanamkan dalam susunan plot pengisahan The Woman King. Sentuhan politis tersebut bahkan mampu berpadu dan tersaji dengan baik berkat kemampuan Gina Prince-Bythewood untuk menghadirkannya dalam tatanan pengisahan yang cukup mudah dicerna bagi penonton awam.
Naskah cerita The Woman King juga memberikan ruang yang begitu luas bagi karakter-karakter pendukungnya untuk memiliki porsi pengisahan yang efektif. Tidak ada satupun karakter pendukung dalam penceritaan film ini yang tampil hanya sebagai penghias atau plot device belaka. Seluruh karakter mampu disajikan secara utuh dan mendukung kesatuan penceritaan utama yang akhirnya mampu membuat ritme perjalanan cerita The Woman King tampil dinamis.
The Woman King sendiri bukannya tampil tanpa permasalahan. Meskipun didukung oleh kualitas garapan naskah cerita yang solid, namun pada beberapa bagian film, sang sutradara terasa kehilangan amunisi pengarahan yang menyebabkan The Woman King beberapa kali hadir bertele-tele dalam berkisah.
Menurut penulis, Gina sebagai sutradara sebenarnya dapat merampingkan beberapa plot pengisahan yang sepertinya kurang esensial dan menyebabkan durasi pengisahan film ini melebar hingga lebih dari dua jam. Meskipun begitu, masalah-masalah tersebut tidak memberikan dampak negatif yang terlalu besar pada presentasi kualitas The Woman King secara keseluruhan.
Gina juga berhasil menyajikan filmnya dengan kualitas departemen produksi yang begitu kuat. Sentuhan etnik yang hadir mewarnai tata rias dan busana setiap karakter dalam film ini membuat setiap karakter tampil menonjol. Begitu pula dengan sinematografi dan desain produksi yang begitu memukau. Alur cerita The Woman King juga diperkuat dengan tata musik garapan komposer Terence Blanchard yang sudah terbiasa bekerja sama dengan sineas kawakan Spike Lee.
Meskipun bukanlah film produksi Hollywood perdana yang menyajikan sosok pahlawan berkulit hitam, The Woman King jelas akan meninggalkan jejak dan kesan yang begitu mendalam atas kemasannya sebagai sebuah film pahlawan super dengan deretan karakter berkulit hitam yang mampu tergarap megah sekaligus mampu bercerita dengan kuat. Meskipun menghadapi sedikit permasalahan di beberapa bagian penceritaannya, namun The Woman King berhasil menjadi sebuah film pahlawan yang esensial dalam sejarah perfilman dunia, dengan tidak melupakan unsur hiburannya yang juga begitu menyegarkan tentunya.