Loading your location

Review Sewu Dino: Lebih Baik Dibanding KKN Di Desa Penari

By Ekowi20 April 2023

Film Sewu Dino menjadi salah satu horor yang paling ditunggu kehadirannya pada tahun ini. Menyusul kesuksesan KKN di Desa Penari, film yang diangkat dari thread Twitter penulis yang sama, Simpleman, ini juga digadang-gadang bakal melejit.  Sewu Dino menjanjikan sensasi horor yang lebih mengerikan dibanding KKN Di Desa Penari. Namun, apakah benar demikian?

Berlatar tahun 2003, kita diajak berkenalan dengan Sri (Mikha Tambayong), yang demi membiayai pengobatan ayahnya, memutuskan melamar pekerjaan di kediaman Karsa Atmojo (Karina Suwandhi) yang misterius. Tanpa banyak informasi, Sri bersama dua pekerja lain, Erna (Givina Lukitha) dan Dini (Agla Artalidia), dibawa ke kabin tengah hutan. Di sanalah baru terungkap bahwa ketiganya bertugas melakukan ritual basuh sedo. 

Ritual tersebut mengharuskan mereka memandikan tubuh Dela (Gisellma Firmansyah), cucu Karsa yang terkena santet, di mana tubuhnya dirasuki jin bernama Sangarturih. Konon santet itu bakal terangkat bila ritual basuh sedo terus dilakukan selama 1000 hari. Tugas utama tiga protagonisnya adalah menjaga Dela tetap terikat di tempat tidurnya.

Film Sewu Dino ini membawa sebuah kisah dunia santet yang sudah tak asing lagi di telinga rakyat Indonesia. Sebuah mitologi yang berbalut latar belakang Jawa yang kental, membuat film ini mempunyai segudang potensi di dalamnya. Namun apalah daya, ekspektasi yang terbawa sejak proyek ini diumumkan bahkan digadang-gadang menjadi salah satu kisah terkelam dari tulisan Simpleman, harus terbuang dan terkubur semenjak rumah produksi menetapkan film ini mempunyai rating remaja (R).

Dan benar saja, potensi yang disiapkan seakan terbuang percuma. Tangan ajaib seorang Kimo Stamboel selaku sutradara harus tertahan sedalam-dalamnya jika dibandingkan kebrutalan yang terjadi di film Ivanna, tahun lalu. Menyia-nyiakan nama besar seperti Rio Dewanto dan Marthino Lio membuat film ini semakin kehilangan taring semenjak konflik mulai dibangun. Beberapa karakter terasa abu-abu dalam menyampaikan motif mereka kepada penonton, ditambah kritik pedas mengenai dialog Bahasa Jawa yang terasa palsu dari paruh awal hingga akhir film ini bergulir.

Kimo seakan masih terasa di bawah tekanan di dalam proyek ini. Gelaran visual dan scoring di beberapa bagian hanya mampu menambah sedikit suntikan kengerian ketika menonton, di balik masih bertaburnya inkonsistensi karakter yang ditampilkan dalam film ini. Mencoba atmosferik tetapi tidak terasa menegangkan, menjadi parade horor berujung tak mengejutkan, dan parahnya malah berakhir dengan guliran adegan-adegan repetitif yang terasa melelahkan.

Kelebihan Kimo Stamboel dibanding rekan “Mo”-nya yang lain yakni Timo Tjahjanto adalah kemampuannya dalam membangun set-up cerita yang runut di setiap babak awal film-filmnya. Tak heran film-film karya Kimo selalu "slow" di paruh awal dan jor-joran di paruh akhir. Sayangnya, kemampuan Kimo Stamboel amat bergantung dari kualitas naskahnya itu sendiri. Dan di sini, Kimo seperti tak mampu menyalurkan idealismenya di bawah bayang-bayang sang produser.

Namun tetap, dalam hal kualitas, Sewu Dino merupakan peningkatan dari film KKN Di Desa Penari yang dirilis tahun lalu. Dan salah satu film yang patut ditonton di musim Lebaran kali ini.

Sobat nonton, jangan lupa bagikan tulisan ini ya!

NOW PLAYING

Amazon Bullseye
WE LIVE IN TIME
Pantaskah Aku Berhijab
Cinta Dalam Ikhlas

COMING SOON

2nd Miracle in Cell No.7
Mengejar Restu
Cocote Tonggo
Apres Girl