Review Mufasa: The Lion King: Visualnya Indah dan Membuai
Pasti di antara sobat nonton sudah mengenal film animasi The Lion King. Ya, selain tercatat pernah berhasil meraih empat nominasi dan memenangkan dua di antaranya di ajang The 67th Annual Academy Awards, The Lion King kala itu juga mampu meraih sukses besar di saat perilisannya. Selain mendapatkan pujian luas dari para kritikus film dunia, The Lion King juga berhasil mampu menarik minat banyak penikmat film yang lantas kemudian menjadikannya sebagai salah satu film animasi tersukses sepanjang masa secara global.
Kini, untuk memperingati 30 tahun sejak debut animasi klasiknya pada 1994 silam, serta untuk memperluas semesta penceritaan The Lion King, Disney menghadirkan sebuah film berjudul Mufasa: The Lion King. Seperti judulnya, film ini akan menghadirkan kilas balik tatkala Mufasa (Aaron Pierre) masih menjadi anak singa yatim piatu yang tersesat dan sendirian, hingga ia bertemu dengan singa yang simpatik bernama Taka (Kevin Harrison Jr.), sang pewaris garis keturunan kerajaan.
Pertemuan yang tak terduga tersebut tentunya akan memulai sebuah perjalanan yang unik dan juga luar biasa dalam mencari takdir mereka. Selain itu, ikatan mereka juga akan diuji tatkala mereka harus bekerja sama dalam menghindari musuh yang mengancam serta mematikan.
Well, di tahun 2024 ini, jelas bukan hal yang mengejutkan lagi untuk melihat rumah produksi seraksasa Walt Disney Pictures dalam menghasilkan tampilan visual kehidupan hewan liar dan lingkungan hidupnya dengan kesan yang begitu nyata. Dibekali dengan kemutakhiran teknologi animasi komputer dan efek visual teranyar, Mufasa: The Lion King mampu menyajikan tatanan visual yang akan membuat para penontonnya terbuai dan serasa menyaksikan sebuah sajian dokumenter tentang konflik politik para satwa liar.
Selaku sutradara, Barry Jenkins sendiri tidak lantas menghadirkan versi buat ulang dari The Lion King terdahulu yang sama persis pada tiap adegannya. Namun, ketika Jenkins mengimplementasikan teknologi visual terbaru pada sejumlah adegan ikonik dalam film ini, ia nampaknya bisa dibilang berhasil dalam menampilkan kualitas yang tidak mengecewakan. Begitu indah dan membuai.
Namun sayangnya, bagi mereka yang mengharapkan energi atau daya tarik magis dari pengisahan The Lion King untuk kembali dapat dirasakan dalam film teranyarnya ini jelas akan pulang dengan tangan hampa. Meski visualnya mudah untuk memikat mata, pengarahan yang diberikan Jenkins masih terasa berjalan datar dan dingin.
Harus diakui, kesalahan paling fatal yang dilakukan pada film ini adalah memilih untuk menggunakan vokal dari jajaran aktor dan aktris dengan kemampuan yang cukup lemah dalam menghidupkan sesosok karakter melalui vokal mereka. Hal ini yang lantas mendorong tidak adanya karakter yang benar-benar mampu tampil menarik ketika konflik utama dari film ini sedang bergulir.
Ya, Mufasa: The Lion King mungkin akan berguna sebagai pengingat bagi Walt Disney Pictures bahwa melakukan pembaharuan bagi sebuah kisah klasik tidak hanya membutuhkan penampilan visual yang lebih modern, namun juga semangat dan hati yang sama yang dahulu pernah membuat kisah klasik tersebut begitu popular dan dicintai.
Tapi tetap, Mufasa: The Lion King merupakan sebuah film yang akan membuat sobat nonton bernostalgia dengan masa kecil dan akan menyenandungkan lagu-lagu soundtrack yang muncul di dalamnya. Walau tak banyak kejutan, namun sobat nonton pastinya akan dengan gampang dimanjakan oleh visual yang ciamik serta pendekatan berbasis realisme yang rasanya akan banyak diapresiasi oleh para penonton dewasa.