Review Sampai Titik Terakhirmu: Drama Minimalis yang Memikat

Konon, laki-laki adalah makhluk maskulin yang kebal akan ragam jenis melankoli. Tapi realitanya sungguh berbeda. Sadar atau tidak, laki-laki punya tendensi berlama-lama meratapi kesedihan, bahkan melipatgandakan lukanya melalui pemikiran atau tindakan tertentu, apa pun alasannya.
Hal di atas tadi yang coba diangkat oleh rumah produksi LYTO Pictures lewat film berjudul Sampai Titik Terakhirmu. Berbeda dari kisah romansa biasa, Sampai Titik Terakhirmu akan mengajak sobat nonton untuk merenungkan makna cinta sejati, perjuangan, dan ketulusan dalam menghadapi takdir yang menyakitkan.
Sampai Titik Terakhirmu berkisah tentang Albi (Arbani Yasiz), seorang perantau pendiam yang enggan untuk memiliki ambisi besar. Hidupnya berubah secara drastis saat ia tanpa sengaja bertemu dengan Shella (Mawar de Jongh), seorang gadis ceria sekaligus atlet dan kreator konten di TikTok. Dari pertemuan itu, tumbuh cinta yang tulus dan hangat, diwarnai dukungan keluarga yang merestui hubungan mereka. Mereka saling mendukung, tumbuh bersama, hingga akhirnya memutuskan menikah.
Namun, kebahagiaan itu harus diuji ketika Shella divonis menderita kanker ovarium, penyakit yang perlahan menggerogoti tubuhnya. Meskipun sakit, Shella tetap berusaha menjaga semangat hidupnya, sementara Albi berjuang keras untuk tetap kuat di sisinya, menolak menyerah pada rasa takut kehilangan. Albi dengan setia mendampingi setiap langkah perjuangan Shella, mulai dari proses kemoterapi hingga masa-masa sulit yang perlahan mengubah kondisi fisik sang kekasih. Lantas, mampukah mereka bertahan dari segala cobaan tadi?
Pertama-tama, harus diakui bahwa chemistry antara Arbani Yasiz dan Mawar de Jongh benar-benar juara. Di awal film, interaksi mereka yang kikuk tapi gemas, dijamin akan membuat sobat nonton tersenyum-senyum sendiri. Arbani amat sukses menggambarkan seorang karakter laki-laki yang berusaha kuat di depan wanitanya, meski hatinya hancur karena penyakit dan pengorbanan dari sang wanita.
Pun begitu dengan Mawar yang juga tak kalah apik bermain sebagai Shella, perempuan ceria yang sebenarnya rapuh dan amat bergantung dengan sosok Albi. Ditambah Dinna Jasanti yang juga berhasil men-direct film ini dengan sentuhan emosional yang kuat, plus sinematografi yang hangat dan membuat suasana semakin menyentuh.
Film ini memang mengharukan, tapi tidak cengeng. Alih-alih memberikan momen-momen dramatis dengan scoring menyayat, film ini bertutur dengan lebih sederhana tapi di sisi lain justru lebih mendalam pada eksplorasinya mengenai berbagai aspek kehidupan.
Banyak film tearjerker lainnya yang tidak terlalu mempedulikan kualitas naskah serta plot dari awal sampai pertengahan. Semuanya hanyalah sebagai set-up atau pengisi durasi sebelum sampai pada momen puncak di akhir yang akan dieksploitasi habis-habisan agar para penontonnya menangis sejadi-jadinya.
Akan tetapi, film ini justru sebaliknya, karena film ini lebih banyak berfokus pada proses yang terjadi daripada akhirnya. Fokus utamanya adalah memperlihatkan bagaimana mereka yang seolah tinggal menunggu hari kematian untuk tetap terus menjalani hidup sebaik mungkin dan tidak hanya meratapi nasib tragis yang mereka alami. Dari dialog yang muncul, banyak tersirat harapan yang seolah meneriakkan bahwa sebuah kematian bukanlah akhir dari segalanya.
Pada akhirnya, Sampai Titik Terakhirmu menjadi bukti bahwa untuk menciptakan sebuah drama yang berkesan dan menyentuh tidaklah harus memberikan sentuhan dramatis berlebihan di sana-sini, karena cukup lakukan dengan sederhana tapi maksimal, dan jika perlu berikan sedikit "kejutan", maka jadilah suatu tontonan minimalis yang memikat.








